Hayuning Ratri Hapsari | Tika Maya Sari
Ilustrasi pendayung perahu (Pixabay/ctpress)
Tika Maya Sari

"Pakdhe, boleh saya minta tolong?” tanyaku pada seorang lelaki paruh baya yang duduk di samping perahunya di tepian sungai. “Saya hendak pulang.”

“Rumah sampeyan di mana?” tanya lelaki itu. “Kok bisa sampai disini?”

“Pakdhe tahu Dukuh B?”

Beliau tersenyum simpul. “Oh dekat itu. Sungai ini bakal lewat sana. Monggo, naik.”

Si Pakdhe lalu mempersilakan aku naik, kemudian mendorong badan perahu sebelum melompat naik, dan mulai mendayung. Membiarkan suara angin dan kecipak air mengisi keheningan kami.

Aku lantas duduk di tengah badan perahu, sedangkan Pakdhe pendayung berdiri di ujung belakang. Kuamati beliau yang tampak sederhana tetapi semangatnya masih membara. Dalam balutan atasan katun berwarna cokelat, celana kain hitam panjang, dan caping anyaman bambu, Pakdhe mendayung perahu dengan dayung panjang, menyerupai galah.

“Sampeyan orang baru ya di Dukuh B?” tanya Pakdhe memecah keheningan. 

“Betul, Pakdhe,” jawabku kemudian berbalik badan supaya bisa berbincang dengan lelaki tadi tanpa membelakangi. “Pakdhe sendiri?”

“Wah, saya sih lalu lalang disini. Cukup kenal beberapa penduduk sana.”

Aku mengangguk sambil mengamati lelaki bertubuh kurus itu. Dia tampak bugar di usianya yang mungkin menginjak limapuluhan. Kulitnya sawo matang, dengan vibes ramah tetapi cukup misterius.

“Ada baiknya sampeyan menghadap depan. Pemandangan sungai ini cantik dan bikin mata segar. Nanti kalau sudah sampai Dukuh B, saya turunkan sampeyan.”

Seharusnya aku was-was dan panik atau minimal waspada. Mengingat aku sama sekali tidak kenal dengan lelaki tersebut. Namun, hati kecilku berbisik untuk mempercayainya.

“Baik, Pakdhe.”

Aku kemudian membalik badan dan menyaksikan pemandangan alam yang asli bikin mata segar. Sungai ini tidak terlalu besar, dengan arus sedang dan sangat jernih. Dari permukaan, tampak ikan-ikan wader, lele kecil, bahkan udang-udang kecil dan yuyu atau kepiting air tawar menunjukkan eksistensi mereka. Saat kucelupkan sebelah tangan ke dalam air, rasanya adem dan menenangkan.

“Sungai ini menjadi pembatas dua wilayah, yakni Dukuh B di utara dan Dukuh S di selatan,” kata Pakdhe pendayung.

“Lho, Pakdhe tahu Dukuh S juga?”

“Yo tahu! Saya kan pinter!” tukas Pakdhe penuh percaya diri.

Kami lalu tertawa sebelum keheningan kembali. Dari sudut mataku, Pakdhe tampak mendayung perahu sambil terkadang menengadah dengan wajah lega. Entahlah, seperti penuh rasa syukur dengan selipan senyum tipis.

Aku kemudian ikut menengadah, dan menyaksikan betapa lembutnya cahaya matahari yang melewati kisi-kisi dedaunan bambu. Tepatnya beberapa waktu setelah perahu meluncur, kanan kiri aliran sungai mulai dipenuhi oleh rumpun-rumpun bambu yang teduh. Dedaunannya menghijau cantik, dan membawa aroma kesegaran kala angin berhembus.

Tidak hanya itu, dedaunannya yang kering pun berguguran dengan ciamik, dan mengapung di permukaan air sebelum berkejaran dalam arus sungai. Ditambah cahaya matahari memantulkan riak air di rumpun bambu yang gelap, dan menciptakan ilusi warna kebiru-biruan terang mirip safir.

“Terkadang, manusia enggan berpikir dengan logika mengapa rumpun bambu ditanam di sepanjang aliran sungai,” kata Pakdhe pelan.

“Untuk mencegah abrasi kan, Pakdhe?”

“Betul. Tapi mereka malah sok asik menebang tanpa mengganti. Atau membuang puntung rokok yang bikin kebakaran.”

“Tapi kata orang-orang tua, rumpun bambu itu sarang dedemit, Pakdhe.”

Tawa Pakdhe menyembur. “Itu cuma kiasan. Yang bikin geleng-geleng kepala ya generasi yang ndak mau tahu dan ndak peduli.”

Aku merasakan ada kekesalan dalam nada bicara Pakdhe. Namun, begitulah manusia. Wangsa yang kadang bikin ngelus dada.

"Mereka mungkin lupa, bambu pernah menjadi bagian dari kehidupan. Banyak perkakas masak dari bambu, dinding rumah bambu, bahkan reng usuk (kayu penahan genteng)." Wajah Pakdhe tampak redup. "Jaman sudah berubah ya?"

Aku mengangguk. "Jaman sekarang sudah modern, Pakdhe. Perkakas masak banyak dari steinless steel, dinding rumah dari bata ringan atau batako, dan reng usuk dari galvalum."

Pakdhe tidak bersuara. Hingga beberapa menit kemudian, aku melihat sebuah jembatan beton melintang di depan, tepatnya beberapa meter di atas. Letaknya sejurus dengan jalanan kampung yang menukik dari arah utara.

“Nah, kita sudah sampai, Mbak.” Perahu kemudian menepi, dan Pakdhe membantuku turun ke daratan. “Nanti sampeyan jalan ke arah utara sampai persimpangan jalan ya. Habis itu, sampeyan pasti tahu harus kemana.”

“Terima kasih, Pakdhe.”

Pakdhe hanya mengangguk sekilas, dan aku berjalan sesuai rute yang diberikan. Hanya untuk menuai kebingungan saat tersadar dari mimpi.

“Arus sungai tadi mengarah ke barat. Masih masuk akal kalau perahunya ngikuti arah arus. Yang aneh, kok bisa perahunya balik ke timur tanpa bantuan mesin?”

Ah iya, alam mimpi kadang memanglah anomali.