Lintang Siltya Utami | Ama Ulwa
Ilustrasi Lukisan. (pexels.com/Steve Johnson)
Ama Ulwa

Riki terbangun dengan napas tersengal. Ia merasakan lengannya dicengkeram erat oleh jemari dengan kuku-kuku yang tajam. Ketika ia membuka mata, benar saja. Hanya berjarak sejengkal dari wajahnya, sebuah wajah pucat pasi dengan sepasang mata yang kemerahan, menatapnya tajam seakan menyimpan amarah yang mendalam. Surai-surai keabuan dari kepalanya menjuntai panjang. Sepintas, wajah itu tampak seperti wanita tua, dengan kerutan-kerutan di kulitnya.

"Lukisan! Lukisan!" bisik sosok itu, menggema lantang di telinga Riki.

"Lu-lukisan apa?! Ka-kau salah orang!" Riki gelagapan, ia menarik selimutnya hingga menutupi sekujur tubuhnya. Ia terus merapalkan segala jenis doa yang dihafalnya. Tak peduli apakah yang ia lafalkan ternyata doa makan.

Keringat mulai membasahi tubuh Riki. Rasanya, ia telah bersembunyi dalam selimut begitu lama. Ia mengintip dari balik selimutnya.

Sosok itu telah menghilang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, berkali-kali. Bahkan sesekali ia mendongak ke langit-langit ruangan, barangkali sosok itu bersembunyi di sudut-sudut yang sulit ditangkap penglihatannya.

Setelah ia yakin situasi telah cukup aman, Riki beranjak menuruni ranjang dan bergegas keluar rumah. Ia membanting pintu rumahnya dengan kuat, memecah keheningan malam. Riki memutuskan menghabiskan sisa malamnya di teras. Hanya ia, suara jangkrik, dan jalan setapak yang sunyi di depan rumahnya.

Riki mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialaminya. Ia heran, sosok itu tampak familiar. Meski begitu, ia masih tak ingat di mana tepatnya ia menjumpainya sebelumnya. Ia termangu, matanya menerawang kosong ke arah lukisan pantai di teras rumahnya.

"Lukisan, lukisan.." gumamnya.

Sosok tadi menanyakan tentang lukisan. Riki kebingungan, lukisan apa yang dimaksud, dan apa kaitannya antara ia, sosok tadi, dan lukisan?

"Aaahh...!" Riki terkesiap. Ia teringat suatu hal.

Wajah sosok tadi rupanya menyerupai Mbah Sahwi, wanita tua yang ia jumpai beberapa bulan silam. Saat itu, ia mengalami kebocoran ban pada pagi buta dalam perjalanan pulangnya dari lokasi projek penelitian yang berlokasi di sebuah desa di kaki gunung. Sayangnya, jalanan masih lengang. Di sisi jalan hanya ada pohon-pohon dan semak belukar.

Riki yang kebingungan mencoba menghubungi siapa saja di daftar kontaknya. Sayangnya, sinyal di lokasi tersebut kurang stabil. Berkali-kali Riki mendengus kesal. Hampir saja ia melayangkan sumpah serapah sebelum akhirnya ia melihat siluet manusia dengan rambut tergelung dari kejauhan. Siluet itu berjalan perlahan ke arahnya sambil menuntun sepeda.

Kaki Riki seakan terkunci di tempat. Ia teramat ketakutan. Semakin dekat siluet itu, semakin ia yakin bahwa sosok itu merupakan wanita tua dengan pakaian adat jawa serta rambut keabuan yang disanggul sederhana. Mengingatkannya pada sosok misterius di film-film horor yang pernah ditontonnya.

"Kenapa, Le (sebutan untuk anak laki-laki)?" ucap sang wanita tua ramah, membuyarkan ketakutan Riki.

Seakan tak punya pilihan, Riki menjelaskan pada wanita tua itu terkait ban motornya yang mengalami kebocoran. 

"Oh, ada tambal ban dekat rumah saya, pripun (bagaimana)?" ucap wanita tua itu.

Dengan setengah hati, Riki mengiyakan tawaran tersebut. Lagi-lagi, ia tak punya pilihan.

Rasa lega menyelimuti Riki. Rupanya, sang wanita tua bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Setelah ban motor Riki selesai diperbaiki, sang wanita tua mempersilahkan Riki untuk beristirahat sejenak di rumahnya, mengingat Riki menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda motornya.

"Teh napa (apa) kopi?" tanya sang wanita tua.

"Waduh repot-repot, teh mawon (saja), Mbah," senyum Riki tersimpul malu-malu, "matur nuwun, nggih (Terima kasih, ya)." 

Kicau gunung dan gemerisik dedaunan yang bergesekan diterpa angin menemani obrolan sang wanita tua dan Riki. Akhirnya, Riki tahu bahwa wanita tua itu bernama Mbah Sahwi. Ia tinggal sendiri di sebuah gubuk tua dengan ditemani seekor kucing hitam. Tak disangka, obrolan pagi itu mengalir panjang. Terutama Riki, ia berceloteh panjang lebar tentang banyak hal. Ia menceritakan pada Mbah Sahwi bahwa ia hobi melukis.

"Simbah mau? Saya ada lukisan wayang" ucap Riki sambil meneguk segelas teh hangat.

"Boleh, kalau sampeyan (kamu) tidak repot," senyum sumringah tergambar jelas pada wajah Mbah Sahwi.

Sayangnya, Riki melupakan janjinya. Setelah sosok yang menyerupai Mbah Sahwi muncul di hadapannya, Riki baru teringat akan perkataannya.

"Jangan-jangan Mbah Sahwi..." gumamnya lamat-lamat.

Tanpa menunggu lama, Riki lantas bersiap. Ia membungkus sebuah lukisan wayang, mengikatkannya dengan tali di motor. Dengan persiapan yang secepat kilat, ia lantas menerobos jalanan malam yang dingin. Ia bertekad membawakan lukisan itu pada Mbah Sahwi sesuai janjinya. 

"Semoga belum terlambat," ucap Riki lirih, membisiki diri sendiri.

Untungnya, Riki masih mengingat dengan baik rute jalan menuju rumah Mbah Sahwi. Di kaki bukit, diapit sawah, sebuah gubuk kayu berdiri, rumah Mbah Sahwi.

Riki sampai di sana menjelang pagi buta, seperti pada saat pertama kali ia bertemu dengan Mbah Sahwi. Di depan pintu, genggaman tangan Riki mendadak membatu, tepat sebelum ia mengetuk pintu. Ia dihujami ragu mengenai, "Apa yang akan ia jumpai di balik pintu?"

"Kriettt...!" Pintu rumah Mbah Sahwi terbuka dari dalam.

Riki yang kaget spontan berteriak dan terhuyung mundur, jatuh terduduk di halaman.

"Astaghfirullah!" Mbah Sahwi yang tak kalah kagetnya dengan kehadiran Riki ikut berteriak.

"Lho, Simbah masih hidup?" Riki masih melongo melihat Mbah Sahwi.

"Lah, maksud sampeyan pripun (maksud kamu bagaimana)? Ngawur kamu, Le...!" Mbah Sahwi yang kesal memukuli Riki dengan sandal jepit.

Setelah kekesalan Mbah Sahwi mereda, Riki memperkenalkan diri kembali, lalu menjelaskan semuanya. Ia mengira telah didatangi hantu Mbah Sahwi. Ia juga meminta maaf karena terlupa akan janjinya dulu.

"Woalah, ndak apa-apa," ucap Mbah Sahwi.

Mendengar hal itu, Riki merasa amat lega. Namun, ia masih tak paham mengapa sosok yang menyerupai Mbah Sahwi itu mengganggunya. Ia yakin sosok itu bukan dalam mimpi, melainkan benar-benar hadir di kehidupan nyata.

Mbah Sahwi mengernyitkan alisnya, ikut berpikir, "Apa dia ya?"

"Dia siapa, Mbah?" Riki tersentak kaget mendengar ucapan Mbah Sahwi.

Mbah Sahwi menjelaskan bahwa pada waktu ia kecil, ia kerap diikuti sesosok bayangan hitam yang kerapkali bahkan sanggup menyerupainya. Meski begitu, bayangan itu tidak pernah mengganggunya. 

Riki terdiam. Ia kehabisan kata-kata. Ia hanya berharap pada malam-malam selanjutnya, sosok yang menyerupai Mbah Sahwi itu tak kembali datang dan mengganggu tidurnya.

Baca Juga

Cerita-misteri