Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Bagian dari Poster Film Dirty Vote II o3 (YouTube/ Dirty Vote)
Athar Farha

Ada film yang nggak bisa Sobat Yoursay tonton sambil main HP lho. Bukan karena berat secara teori, tapi karena setiap menitnya terasa kayak ajakan buat mikir, sadar, dan bisa jadi bikin marah.

Judulnya Dirty Vote II o3, dokumenter terbaru yang baru saja dirilis di channel YouTube Dirty Vote. Empat jam penuh, tanpa sensor, tanpa sponsor besar, dan tanpa tedeng aling-aling.

Film ini adalah lanjutan dari dokumenter Dirty Vote yang dulu mengguncang ruang publik Indonesia dengan keberaniannya membedah politik elektoral dari sisi yang jarang disorot media arus utama. Bila film pertamanya ibarat peluit tanda bahaya, maka Dirty Vote II o3 ini terasa seperti sirene panjang yang menandakan sistem kita sedang benar-benar genting.

Empat narasumber tampil di sini, nama-nama yang nggak asing di dunia hukum dan politik. Bivitri Susanti, Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan Bhina Yudhistiraz mereka nggak datang buat mengulang teori lama, tapi untuk membuka dan membaca kartu-kartu oligarki yang selama ini tersembunyi di balik wajah kekuasaan.

Lewat gaya bicara yang tenang tapi menusuk, Bivitri menjelaskan bagaimana demokrasi di negeri ini sudah lama terjebak di antara hukum dan kepentingan. Dia menyebut, yang paling berbahaya bukan pelanggaran hukum itu sendiri, tapi ‘aturan nggak tertulis’ yang diam-diam justru jadi hukum paling kuat di atas segalanya.

Aturan yang memungkinkan kekuasaan terus berputar di lingkaran yang sama, orang-orang yang sama, partai-partai yang sama.

Kita mengira sedang hidup di negara hukum, padahal yang mengatur permainan adalah mereka yang tahu cara membengkokkan hukum tanpa kelihatan bersalah.

Feri Amsari kemudian membawa pembahasan itu ke lapangan politik yang lebih konkret. Dia mengurai bagaimana pemilu yang katanya ‘bebas dan adil’ sebenarnya penuh rekayasa.

Mulai dari penentuan calon, akses terhadap dana kampanye, sampai kontrol terhadap media dan narasi publik. Semua itu nggak pernah benar-benar netral. Menurutnya, pemilu di Indonesia sudah kayak pertandingan sepak bola yang gawangnya cuma menghadap satu arah. Yang kuat tambah menang, yang kecil makin tersingkir. Dan di tengah semua itu, rakyat seringnya cuma disuguhi drama pencitraan tanpa tahu siapa yang menulis naskahnya di belakang layar.

Kemudian ada Zainal Arifin Mochtar, muncul dengan analisis yang lebih struktural, tapi tetap mudah dicerna. Dia menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga negara yang seharusnya berdiri independen ternyata sudah lama dikooptasi kepentingan tertentu.

Ada kekuasaan yang nggak pernah ikut pemilu, tapi bisa menentukan hasilnya. Ada kekuatan ekonomi yang diam-diam mengatur arah kebijakan publik lewat tangan pejabat yang terpilih secara ‘demokratis’. Dan di situ, kata Zainal, kita bisa melihat bentuk paling nyata dari state capture, ketika negara diambil alih dari dalam, pelan-pelan, tanpa kita sadari.

Lantas Bhina Yudhistira menutup film dengan nada yang lebih manusiawi. Dia bicara bukan dari sisi hukum, tapi dari sisi nurani. Katanya, oligarki bukan cuma soal uang dan kekuasaan, tapi juga tentang hilangnya etika dalam politik. Ketika segalanya bisa ditukar dengan kepentingan, maka politik berhenti jadi ruang moral. 

Namun, Bhina juga nggak ingin penonton berakhir dalam pesimisme. Dia bilang, masih ada harapan di generasi muda, di media yang jujur, dan di teknologi yang bisa menyingkap kebohongan.

Demokrasi, katanya, bukan cuma proses memilih, tapi juga hak rakyat untuk menuntut akuntabilitas setelah pemilu selesai. Dan mungkin, justru dari kesadaran kecil inilah perubahan bisa mulai tumbuh.

Film ini jelas bukan tontonan ringan, tapi penting banget ditonton. Di tengah tahun-tahun politik yang semakin riuh dan penuh pencitraan, Dirty Vote II o3 hadir sebagai pengingat bahwa demokrasi bukan sebatas acara lima tahunan di bilik suara. 

Dan kalau Sobat Yoursay masih percaya suara rakyat punya arti, maka film ini wajib kamu tonton.