Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Elita Dewi
Ilustrasi pelaku eksibisionisme (wuerzburgerleben)

Apakah kalian termasuk pencinta drama korea dan pernah menonton drama korea  It’s Okay to Not Be Okay? Jika iya, pasti kalian tidak asing dengan sosok Kwon Ki Do, yang di salah satu scene tak segan membuka pakaiannya dan memamerkan alat kelaminnya kepada khalayak umum.

Mungkin kalian juga pernah melihat di berita mengenai pelaku yang senang memamerkan alat kelamin ini diringkus oleh aparat kepolisian, atau bahkan kalian pernah bertemu orang seperti ini secara langsung?

Nah kalian tahu gak sih, perilaku seperti itu termasuk ke dalam gangguan psikoseksual loh. Gangguan psikoseksual sendiri merupakan bentuk penyimpangan dalam memenuhi hasrat seksual dikarenakan oleh beragam faktor, mulai dari faktor psikologis, biologis, sosial hingga kultural (Yusuf, 2016).

Lantas, perilaku seperti itu disebut apa sih? Perilaku yang gemar memamerkan alat kelamin di depan umum ini disebut dengan eksibisionisme.

Apa itu eksibisionisme?

Eksibisionisme adalah sebuah gangguan yang ditandai dengan perolehan kepuasan seksual dengan cara memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain tanpa persetujuan terlebih dahulu (Larasati, 2019). Gangguan ini dapat diidap baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi pada kenyataannya, mayoritas pelaku eksibisionisme adalah laki-laki dan yang menjadi korban ialah perempuan.

Terdapat beberapa kriteria diagnosis dari perilaku eksibisionisme ini. Pertama, tindakan ini berlangsung selama minimal 6 bulan dan membangkitkan gairah seksual pada diri pelaku dari kegiatan menunjukkan alat kelamin kepada orang lain yang tidak menduganya sebelumnya. Kedua, tindakan pelaku ini dilatarbelakangi oleh dorongan atau fantasi seksual yang dapat menimbulkan penderitaan atau masalah interpersonal pada diri pelaku tersebut. 

Faktor yang melatarbelakangi perilaku eksibisionisme

Penyebab dari perilaku eksibisionisme menurut kajian psikologi kriminal dapat ditelaah dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan psikodinamika memandang perilaku ini sebagai bentuk ketidakberhasilan perkembangan anak pada masa seksualnya.

Sehingga orang dengan eksibisionisme dianggap tidak dapat menciptakan serta menjaga hubungan heteroseksual yang normal dan wajar seperti kebanyakan orang lainnya. Selain itu, perilaku eksibisionisme ini dipandang sebagai bentuk pertahanan diri untuk melindungi ego dari perasaan takut terhadap memori yang direpress.

Kedua, pendekatan kognitif dan behavioral menganggap perilaku ini disebabkan oleh proses belajar, yakni adanya ketidaksengajaan dalam pengkondisian yang mengaitkan antara gairah seksual dengan stimulus yang dianggap tidak tepat untuk kemunculan suatu perilaku seksual.

Saat ini, mayoritas teori behavioral dan kognitif melihat penyimpangan seksual seperti eksibisionisme ini disebabkan oleh multifaktor, yakni faktor dari dalam individu ataupun faktor dari luar yakni lingkungan. Selain itu, perilaku eksibisionisme ini dipandang sebagai bentuk kesalahan seseorang dalam proses berpikir serta preferensi seksual.

Pelaku eksibisionisme ini akan memperoleh kesenangan seksual apabila korban berteriak dan ketakutan saat melihat alat kelamin mereka. Oleh karena itu, tak jarang korban eksibisionisme akan mengalami trauma pascakejadian.

Apakah perilaku eksibisionisme dapat disembuhkan?

Sebenarnya secara umum, prognosis (perkembangan suatu penyakit atau gangguan) dalam gangguan psikoseksual cenderung negatif sehingga dapat dikatakan akan sangat berat untuk sembuh dari gangguan psikoseksual tersebut.

Akan tetapi, terdapat beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar perilaku eksibisionisme ini tidak kambuh sehingga dapat menghindari timbulnya kerugian bagi individu tersebut dan orang lain.

Poin utama dalam upaya ini adalah melalui faktor kognitif. Tujuan dari upaya kognitif ini ialah untuk memperbaiki distorsi keyakinan serta merubah perilaku dan sikap yang tidak sesuai terhadap perempuan, karena mayoritas korban ialah perempuan. Beragam upaya lainnya, yakni dengan peningkatan empati pelaku terhadap korbannya, proses manajemen amarah, dan teknik peningkatan harga diri.

Selain itu, dapat juga melalui psikoterapi individual. Dalam psikoterapi ini, seseorang dengan eksibisionisme menggunakan pendekatan coping dalam hal pengelolaan hasrat seksualnya. Individu akan diajarkan mengenai pemetaan emosi, pikiran, dan distorsi kognitifnya yang dapat menyebabkan dirinya melakukan penyimpangan pada perilaku seksual.

Selain itu, individu dengan eksibisionisme dapat diajak untuk mempelajari keahlian sosial, seperti halnya membangun relasi sosial serta relasi intim dengan lawan jenis secara sehat.

Dalam psikoterapi ini, dapat digunakan teknik rekondisi orgasmik. Teori ini dapat membantu individu dengan eksibisionisme dengan cara mengajak mereka untuk mengalihkan fantasi seksual eksibisionisme mereka kepada fantasi seksual yang lebih sehat serta tentunya yang sesuai dengan norma di masyarakat. 

Referensi :

American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder V. APA.

Larasati, N. U. (2019). Edukasi Tentang Penyimpangan Seksual Eksibisionisme Kepada Siswa/i SMK Nusantara 1 Tangerang Selatan. Simposium Nasional Ilmiah, 1173-1179. https://doi.org/10.30998/simponi.v0i0.533

Yusuf. (2016). Peran Tenaga Kesehatan, Keluarga, dan Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan Gangguan Psikoseksual. Seminar Keperawatan Jiwa: Penanganan Komprehesif Gangguan Psikoseksual (pp. 0-9). Lamongan: DPD PPNI Kabupaten Lamongan dan Stikes Muhammadiyah Lamongan.

Margaretha (2014, January 5). Memahami Gangguan Eksibisionistik sebagai Gangguan Penyimpangan Seksual dengan DSM V. https://psikologiforensik.com/2014/01/05/   

Elita Dewi

Baca Juga