Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Elly Putri Aulia
Ilustrasi seseorang yang mengalami obesitas (Shutterstock)

Obesitas, terutama obesitas abdominal atau biasa dikenal degan sebutan obesitas perut merupakan salah satu penyebab komplikasi diabetes. Obesitas abdominal ini memiliki risiko yang lebih tinggi daripada obesitas lainnya, karena risiko penyakit tidak menular (PTM) yang lebih tinggi, bahkan hal ini pun dapat terjadi juga pada orang yang memiliki basal metabolic index (BMI) normal (18,5-24,9 kg m-2). Obesitas abdominal ini ditetapkan dengan menggunakan indeks lingkar leher (neck circumference atau NC) dan rasio lingkar pinggang-panggul (RLPP). 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey (2004), lingkar pinggang dianggap sebagai prediktor yang baik untuk memprediksikan adanya risiko dislipidemia, hipertensi, dan sindrom metabolik yang terjadi pada individu. Pada individu normal persentase adiposa dalam tubuh ada pada kisaran 20% daru total berat badannya dalam kondisi sehat. Organ adiposa dalam tubuh sendiri terdiri atas 2 jenis jaringan, yakni white adipose tissue (WAT) dan brown adipose tissue (BAT) yang memiliki peranan berbeda di dalam tubuh.

White adipose tissue (WAT) memiliki peran sebagai reservoir (penampung) asam lemak dan mendistribusikannya sebagai energi ketika diperlukan. Sementara, Brown adipose tissue (BAT) berperan sebagai thermogenesis untuk menjaga suhu tubuh dengan memanfaatkan molekul energi yang tinggi di dalam tubuh. Selain itu, brown adipose tissue juga berperan dalam metabolisme lipid dan glukosa tubuh. Dalam perut sendiri terdapat lemak mesenterium, di mana lemak ini terdiri dari jarinan adiposa dan menempel pada yang menutupi bagian posterior dinding perut dan dibentuk oleh lipatan ganda peritoneum.

Sebuah studi menunjukkan bahwa aktivitas lipogenik yang tinggi dalam jaringan lemak mesenterium daripada lemak subkutan dan daerah lain dari tubuh, dengan diet kalori tinggi dan gaya hidup menetap. Bagain tubuh secara metabolik sangat aktif dan memungkinkan memiliki daya penyerapan lemak yang lebih kostan dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.

Dengan deposisi atau pengkristalan lemak berlebih, akan terjadi yang namanya pelepasan asam lemak bebas yang lebih tinggi dan beredar mengarah ke atherogenesis, hiperlipidemia, hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Selain itu, kelebihan kadar asam lemak bebas dalam darah dapat meningkatkan terjadinya biosintesis lipid di liver atau hati yang menyebabkan resistensi insulin.

Lemak perut yang berlebihan dapat meningkatkan terjadiya risiko resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan fenomena intoleransi terhadap glukosa. Intolerasin glukosa merupakan suatu keadaan di mana kadar glukosa darah tidak stabil (disglikemia) atau biasa disebut dengan stadium pra-diabetes. Pelepasan asam lemak bebas yang lebih ini dapat menyebabkan tekanan oksidatif dan fungsi endotel abnormal yang dapat memicu adanya diabetes melitus tipe 2.

Tingkat tinggi sirkulasi adipokine dari jaringan adiposa perut mengurangi ekspresi reseptor insulin tubuh menghambat jalur insulin dan proses fosforilasi yang mengarah ke resistensi insulin. Sementara, hiperinsulinemia terkait dengan pelepasan asam lemak bebas berlebih dari jaringan adiposa perut yang melimpah dan menyebabkan berkurangnya pembersihan hati insulin dalam tubuh.  

Misra (2005) melaporkan bahwa orang yang mengalami obesitas sentral menderita diabetes sekitar 10,1% (laki-laki) dan 25,9% (perempuan) dalam sebuah penelitian yang dilakukan di India Utara. Sebuah studi pada populasi perkotaan di New Delhi menemukan prevalensi diabetes menjadi 50,2% (laki-laki) dan 50,0% (perempuan) pada orang yang menderita obesitas perut. Studi lain di India Selatan menunjukkan prevalensi obesitas perut serta diabetes pada tingkat 32,4% (laki-laki) dan 41,4% (wanita).

Di seluruh negara, ada hubungan positif yang kuat antara tingkat BMI rata-rata dan prevalensi diabetes pada tahun 2014 untuk pria dan wanita (koefisien korelasi masing-masing 0,86 dan 0,88). Ini sedikit lebih lemah dari asosiasi yang diamati pada tahun 1980 (masing-masing 0,88 dan 0,91). WHO merekomendasikan pengujian glukosa darah vena puasa untuk diabetes. Ada kekhawatiran bahwa glukosa puasa saja mungkin tidak menangkap semua kasus diabetes yang tidak terdiagnosis pada orang Afrika, yang tahap awal penyakitnya mungkin dinyatakan melalui peningkatan glukosa pasca-OGTT (oral glucose tolerance test) 2 jam.

Studi saat ini telah menyempurnakan, untuk Afrika, upaya global sebelumnya dari Kolaborasi Faktor Risiko penyakit tidak menular (NCD). Prevalensi diabetes sangat besar dan mungkin tumbuh lebih cepat daripada di tempat lain, mungkin dipicu oleh meningkatnya obesitas. Studi ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk pengetahuan yang relevan secara lokal, kebijakan yang mendukung, layanan kesehatan yang cukup lengkap dan lingkungan sosial dan fisik yang optimal untuk mengatasi beban ganda meningkatnya obesitas dan diabetes.

Referensi

Dhawan, D., dan Sharma, S. (2020). Abdominal Obesity, Adipokines and Non-communicable Diseases. Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology, 203(2020), 1-6.

Hengwan,. (2020). Associations between abdominal obesity indices and diabetic complication: Chinese visceral adiposity index and neck circumference. Cardiovascular Diabetology, 19(118), 1-12.

Kengne, A. (2017). Trends in obesity and diabetes across Africa from 1980 to 2014: an analysis of pooled. International Journal of Epidemiology, 46(5), 1421–1432.

Elly Putri Aulia