Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Sabiha Mawaddah Sopian
Ilustrasi konsep tuberkulosis (freepik.com/vectorjuice)

Pandemi COVID-19 masih menjadi masalah serius yang menimpa negara Indonesia dan berbagai negara di seluruh dunia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar kasus COVID-19 menurun, karena pandemi mengakibatkan berbagai kerugian dari berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial, budaya, serta kesehatan. Salah satu dampak pada sektor kesehatan, yaitu terhambatnya program pengobatan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC).

Tuberkulosis atau TBC adalah penyakit menular yang menyerang manusia dan proses penyebarannya dari orang ke orang. TBC disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis. Umumnya Tuberkulosis menyerang paru-paru, tetapi ada beberapa kasus Tuberkulosis menyerang organ lain seperti otak, tulang, kelenjar getah bening, dan kulit. Usia manusia berkisar antara 15 sampai 50 tahun dapat terkena Tuberkulosis, bahkan dapat menyerang anak-anak.

Gejala utama TBC adalah batuk terus-menerus, dapat disertai dengan demam, sesak nafas, berat badan turun, terkadang batuk disertai dengan darah, tidak nafsu makan, dan berkeringat di malam hari. TBC dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur sampai dinyatakan selesai oleh dokter atau petugas medis. 

Berdasarkan data pada Global Tuberculosis Report 2020 yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), Indonesia berada pada urutan ke-3 sebagai negara dengan penderita Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia, setelah India dan China. Menurut data TB Indonesia tahun 2019 angka kasus ternotifikasi TBC mencapai 543.874 dari perkiraan yang terjangkit TBC sebanyak 845.000 serta jumlah kematian akibat TBC sebanyak 11.993 kasus.

Pada 29 Januari 2020, Presiden Jokowi meluncurkan program “Gerakan Bersama Eliminasi TBC 2030” program ini digagas oleh Kementerian Kesehatan untuk mengurangi TBC hingga menjadi zero case atau nol kasus TBC sehingga Indonesia terbebas dari penyakit TBC.

Wakil Presiden Republik Indonesia dalam acara memperingati hari Tuberkulosis sedunia tahun 2021 mengakui bahwa pemberantasan Tuberkulosis di Indonesia mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan sumber daya di Indonesia digunakan untuk menangani pandemi COVID-19. Aspek yang paling terkena dampaknya adalah pengumpulan dan pelaporan data kasus TBC. Penurunan pelaporan data kasus TBC menyebabkan meningkatnya kematian tambahan akibat TBC. WHO melansir, Ma’ruf juga mengatakan bahwa pelaporan kasus TBC di 200 negara mengalami penurunan signifikan pada tahun 2020.

“Bahkan India, Indonesia, dan Filipina melaporkan penurunan 25% hingga 30% antara Januari hingga Juni 2020 dibandingkan periode yang sama tahun 2019,” ungkap Ma’ruf di Jakarta, Rabu (24/3/21).

Selama pandemi COVID-19 pengobatan pasien TBC masih dapat diberikan. Pengobatan TBC diberikan kepada pasien TB sensitif maupun pasien TB Resisten Obat (RO). Akan tetapi, para pasien takut untuk mengunjungi layanan kesehatan karena takut terpapar COVID-19. Oleh karenanya dibutuhkan solusi untuk permasalahan ini. 

Pada masa pandemi ini, pasien TB rawat jalan diberikan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dengan kurun waktu antara 14 sampai 28 hari, dan pengobatan lanjutan sekitar 28 sampai 56 hari agar pasien tidak perlu datang ke fasilitas kesehatan (faskes) setiap 2 minggu, jika pasien tidak mendatangi faskes maka tenaga kesehatan akan mendatangi pasien untuk memberikan pengobatan. Untuk kondisi pasien TB RO juga melakukan kunjungan setiap kurun waktu waktu antara 14 sampai 28 hari di faskes dan pengawasan pengobatan melalui virtual.

Dalam upaya pemerintah untuk mempercepat penanggulangan Tuberkulosis dan untuk mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030. Pemerintah resmi meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Perpres tersebut ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2021. Dalam Perpres tersebut Menteri Kesehatan menjadi Ketua Pelaksana dan Menteri Koordinator Bidang PMK sebagai Ketua Dewan Pengarah.

Mengingat kembali pesan Presiden Jokowi terkait penanggulangan TBC. Pertama, melakukan pelacakan secara cepat untuk menemukan penderita TBC. Kedua, persediaan obat-obatan TBC harus tersedia dan pengobatannya harus sampai tuntas. Ketiga, upaya pencegahan harus dilakukan lintas sektor sehingga dari sisi infrastruktur maupun suprastruktur politiknya dapat tertangani dengan baik.

Wakil Presiden juga memberikan arahan mengenai penanganan TBC. Pertama, perlu meningkatkan edukasi, komunikasi, dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit TBC untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar paham dan dapat melakukan pencegahan. Kedua, meningkatkan intensitas atau jangkauan ke masyarakat. Ketiga, melakukan penguatan faskes. Terakhir, memperkuat sistem informasi dan pemantauan.

Peran serta masyarakat dalam kelancaran dan kesuksesan penanggulangan penyakit Tuberkulosis juga dibutuhkan guna mengurangi angka kasus Tuberkulosis di Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat dalam penanggulangan penyakit Tuberkulosis, yaitu:

  1. Pola hidup sehat seperti, olahraga teratur, makan makanan bergizi, mengkonsumsi vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh;
  2. Menutup mulut ketika batuk dan bersin, tujuannya untuk mengurangi dampak penularan melalui air liur yang keluar dari mulut;
  3. Membuat ruangan didalam rumah terkena matahari, tujuannya untuk membunuh kuman penyebab Tuberkulosis;
  4. Tidak merokok dan berada dekat dengan orang merokok atau perokok pasif, karena berisiko mengalami masalah pernafasan;
  5. Imunisasi vaksin BCG bagi anak dibawa usia 5 tahun.

Selama pandemi COVID-19 masih terus terjadi, kesigapan pemerintah terhadap penyakit lainnya juga harus diperhatikan terutama terhadap penyakit TBC yang jumlah kasusnya tinggi. Pelayanan terhadap pasien pun harus diperhatikan untuk mengurangi risiko kematian akibat penyakit ini, sehingga upaya pemerintah untuk Indonesia terbebas dari penyakit TBC di tahun 2030 dapat tercapai dengan baik.

Sabiha Mawaddah Sopian