“Aduh, aku sebentar seneng sebentar sedih. Apa aku bipolar ya?”
“Kadang-kadang aku merasa bukan diriku sendiri, apa jangan-jangan aku punya kepribadian ganda?”
“Aku nggak bisa berhenti ngulangin cek kompor ketika mau pergi. Pasti aku kena OCD!”
Pernah denger kata-kata di atas? Yap, hal ini kian marak terjadi seiring dengan makin luasnya ilmu mengenai psikologi yang dapat diakses terutama melalui internet. Banyak orang yang bahkan dengan mudahnya langsung melabeli diri dengan penyakit tertentu setelah membaca sekilas artikel kesehatan mental di internet. Perkembangan tersebut membuat orang sekarang mulai berani menyematkan istilah baru dalam kehidupan mereka, seperti burnout untuk kelelahan atas rutinitas, panic attack, suicidal thought, healing, anxiety dan lain sebagainya.
Tapi tahu nggak sih guys?
Info tentang kesehatan mental yang seliweran di internet nggak semuanya kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan lho!
Kok gitu? Karena adanya pemaknaan yang salah dari sebuah informasi bisa membuat masyarakat melabeli diri atas gejala-gejala yang muncul.
Inilah yang dinamakan self diagnosis. Padahal seperti yang sudah kita semua ketahui, diagnosis hanya boleh dilakukan oleh profesional dalam bidangnya lho! Sebut saja misalnya dokter, psikiater dan psikolog.
Ambil contoh orang yang salah dalam mengartikan gejala yang berujung diagnosis diri, ketika keadaan seseorang yang mengalami perubahan emosi yang drastis (mood swing) dalam waktu yang relatif singkat, berkat apa yang ia baca di internet tanpa konfirmasi langsung pada professional, dia langsung melabeli diri sebagai penderita bipolar. Walhasil seseorang bisa mengalami kecemasan atas keadaan dirinya. Melakukan diagnosis diri dapat menimbulkan dampak buruk, karena setiap gejala dan diagnosis yang ada harus diberikan penanganan yang tepat.
Dampaknya self diagnosis apa saja sih?
Penelitian dari Dewi (2022 ) dalam artikel Psikoedukasi Self Diagnose: Kenali Gangguan Anda Sebelum Menjudge Diri Sendiri, menjabarkan dampak self diagnosis sebagai berikut:
1. Efek kognitif
Ini merupakan adanya kebingungan soal penyakit yang diderita. Orang dapat menganggap dirinya tidak normal sehingga dilanda kesulitan dan keputusasaan.
2. Efek afektif
Menyebabkan tekanan fisik dan emosional, orang bisa saja menjadi yakin kalau apa yang dia lakukan sekarang tidak akan sejalan di masa depan.
3. Efek dalam perilaku
Biasanya menimbulkan maladaptasi (penyesuaian diri yang buruk) di lingkungan sosial
4. Efek Positif
Ternyata self diagnosis punya manfaat positif juga lho! Yakni memberikan motivasi untuk membandingkan gejala dan resiko diri dengan orang lain, membuat seseorang lebih bersimpati satu sama lain untuk melahirkan semangat dan dukungan.
Self diagnosis melalui internet resikonya lebih banyak daripada manfaatnya. Sebabnya adalah tingkat keakuratan informasi di internet yang tergolong rendah serta tipisnya perbedaan informasi yang diberikan profesional dan nonprofesional. Selain itu informasi yang sumbernya tidak jelas bisa menjadi jebakan untuk kesehatan mental seseorang. Individu dengan gangguan mental harus mendapatkan treatment yang tepat dari seorang profesional.
Terus bagaimana biar kita tidak melakukan self diagnosis?
Kita bisa mulai dengan mengurangi mencocokkan gejala yang muncul dari diri sendiri via internet serta menggunakan kondisi orang lain sebagai rujukan, hal ini bisa menjadi solusi karena masyarakat sendiri harus pintar dalam memilih informasi dari internet. Masyarakat yang mungkin punya gejala-gejala khusus yang mengganggu psikologis, tidak perlu malu untuk sharing langsung dengan psikolog/psikiater, karena di era digital ini, platform yang membantu seseorang untuk kesehatan mentalnya sudah menjamur dan mudah untuk diakses.
So, jangan self diagnosis lagi ya!
Video yang mungkin Anda suka
Baca Juga
-
Parenting Bullyproof untuk Anak Tahan Bully, Bagaimana Tanggapan Psikiater?
-
Mengenal Counterdependency: Hidup dengan Kemandirian yang Berlebihan
-
8 Cara Ini Bisa Meredam Emosimu yang Meledak! Praktekkan Yuk!
-
15 Jurnal Prompts ini Bisa Bantu Kamu Healing Lebih Cepat! Coba Yuk!
-
Call of The Void: Sains Dibalik Keinginan untuk Mati, Simak Yuk!
Artikel Terkait
-
Daftar 9 Kelompok Orang Dianjurkan Tak Minum Kopi, Termasuk Penderita Epilepsi hingga Jantung
-
Ulasan Buku Berani Bahagia, Raih Kebahagiaan Lewat Nalar Psikologi Sosial
-
Jalin Kerjasama Internasional, Psikologi UNJA MoA dengan Kampus Malaysia
-
Reza Indragiri Adukan Akun Fufufafa ke Layanan Lapor Mas Wapres, Responsnya Gitu Doang: Kayak Bisnis!
-
Ngadu ke 'Lapor Mas Wapres', Ingat Lagi Reza Indragiri Pernah Kuliti Dalang Fufufafa: Makhluk Problematik
Health
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Suka Konsumsi Kulit Buah Kopi? Ini 3 Manfaat yang Terkandung di Dalamnya
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
4 Minuman Pengahangat Tubuh di Musim Hujan, Ada yang Jadi Warisan Budaya!
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans