M. Reza Sulaiman
Ilustrasi stress eating, emotional eating. (pixabay.com/Ryan McGuire)

Kamu pernah nggak sih ngerasain hari yang super ambyar di kantor atau kampus, terus jalan keluarnya cuma satu: pesen makanan enak sebanyak-banyaknya? Entah itu seblak level 10, martabak manis, atau boba tiga gelas sekaligus. Rasanya, semua masalah di dunia langsung hilang begitu makanan itu masuk mulut.

Kalau kamu sering banget ngalamin ini, kamu nggak sendirian. Dan ternyata, ini bukan cuma soal "lapar mata" atau "rakus". Ada nama ilmiahnya lho, yaitu emotional eating alias makan karena emosi.

Menurut Psikolog Klinis, Naomi Tobing, ini adalah kondisi yang sangat umum, tapi kalau dibiarkan, bahayanya bukan cuma di timbangan!

Dua Wajah Stres: Jadi 'Monster' Makanan atau Malah Lupa Makan

Naomi menjelaskan, saat kita stres, tubuh kita biasanya punya dua reaksi ekstrem terhadap makanan.

“Ada yang stres larinya ke makan, ada yang stres larinya nggak makan. Itu bisa terjadi dua-duanya, tergantung kepribadian orang tersebut,” ujar Naomi dalam sebuah acara di Jakarta, Rabu (8/10).

Menurutnya, ada pola yang cukup umum:

Stres Ringan (Level Harian): Stres karena kerjaan numpuk, macet di jalan, atau dimarahin bos, biasanya bikin kita jadi rakus dan pengen ngunyah terus.

Stres Berat (Level Depresi): Kalau stresnya sudah sangat berat sampai mengarah ke depresi, kecenderungannya justru sebaliknya, yaitu kehilangan nafsu makan total.

“Biasanya kalau ringan... larinya jadinya makan. Tapi kalau misalnya stres berat... bisa jadi tidak makan sama sekali,” papar Naomi.

Jadi, Kenapa Sih Otak Kita Jadi 'Nakal' Pas Stres?

Ini bagian paling menariknya. Kenapa sih, saat kita lagi sedih atau marah, otak kita seolah teriak, "MAKAN!"?

Ternyata, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang super cepat dari otak kita. Saat emosi kita lagi nggak stabil, otak butuh cara instan untuk kembali tenang. Dan cara paling gampang? Memerintahkan tubuh untuk makan, terutama makanan manis atau berlemak.

“Tujuannya sebenarnya karena kita butuh cara yang cepat untuk membuat emosi kita stabil, nggak ngerasain sedih, stres, marah, jadinya kita mendistraksi itu dengan makan,” kata Naomi.

Saat kita makan enak, otak akan melepaskan hormon endorfin atau hormon bahagia. Stres pun reda seketika. Tapi sayangnya, ini cuma solusi sementara yang punya "efek samping" jangka panjang.

Bahayanya Bukan Cuma di Timbangan, tapi Juga di Otak!

Nah, ini dia bagian yang sering kita remehkan. Kita mungkin cuma khawatir berat badan naik. Padahal, ada bahaya lain yang lebih "dalem".

Berat Badan Auto Naik: Ini sudah jelas. Kalau setiap stres pelariannya ke makanan tinggi kalori, ya jangan heran kalau program dietmu gagal total.

Kecerdasan Emosional Jadi 'Jongkok': Ini yang paling bahaya. Dengan terus-menerus menggunakan makanan sebagai "pelarian", kita jadi tidak pernah belajar untuk memproses emosi kita yang sebenarnya. Rasa sedih, marah, atau kecewa itu tidak dihadapi, tapi cuma "ditimbun" pakai makanan.

“Cuman kan sebenarnya kita jadi tidak memproses emosi kita dan akhirnya jadinya berat badannya naik, gitu,” jelas Naomi.

Akibatnya? Kemampuan kita untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi (emotional intelligence) jadi buruk. Kita jadi gampang meledak, gampang sedih, dan sulit menyelesaikan masalah karena tidak terbiasa menghadapi perasaan negatif.

Terus, Harus Gimana Dong?

Langkah pertama adalah sadar. Lain kali kamu merasa pengen ngunyah padahal nggak lapar, coba berhenti sejenak dan tanya ke dirimu sendiri, "Gue lagi ngerasain apa, ya?"

Dengan mengenali pemicunya, kamu bisa mulai mencari "pelarian" lain yang lebih sehat, entah itu dengan dengerin musik, jalan kaki sebentar, atau sekadar tarik napas dalam-dalam.

Dan kalau kamu merasa sudah terjebak dalam lingkaran setan ini, jangan pernah ragu untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog. Karena pada akhirnya, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan lingkar pinggangmu.