Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Salma
Ilustrasi hukum. (Pixabay)

Tindak kriminal dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Setiap pelaku kejahatan harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Bahkan pelaku tindak kriminalitas yang berat, membahayakan, dan merugikan masyarakat dapat dijatuhi hukuman mati. Meski demikian, hukum internasional mengatur bahwa terdapat orang-orang dengan kriteria tertentu yang tidak boleh dihukum mati.

Anak di bawah umur, orang yang mengalami keterbelakangan mental, atau orang yang mengidap gangguan jiwa tidak boleh dihukum mati atas kejahatannya.

Seseorang dapat diketahui berstatus masih di bawah umur dengan mudah, tetapi bagaimana hakim mengetahui apabila seorang terdakwa mengalami keterbelakangan mental atau gangguan jiwa? Dua hal tersebut adalah sesuatu yang membutuhkan diagnosis ahli.

Nah, hal ini menjadi salah satu tugas yang dimiliki seorang psikolog forensik, yaitu psikolog yang bertugas membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap kebenaran-kebenaran dalam diri manusia—baik tersangka, korban, maupun saksi—melalui ilmu dan teknik psikologi.

Psikolog forensik memiliki banyak peran yang dapat membantu proses penegakan hukum dan terkuaknya kebenaran di meja hijau. Salah satu yang paling penting adalah keterampilan seorang psikolog untuk mengevaluasi dan mendiagnosis kondisi psikis sebenarnya dari yang bersangkutan.

Dari sinilah dapat diketahui ketika terdakwa memiliki keterbelakangan atau gangguan mental.

Sayangnya, terdapat kasus-kasus di mana orang-orang dengan kriteria tersebut tetap harus menghadapi kematian sebagai hukuman dari tindakan mereka.

Contohnya adalah yang terjadi pada Rodrigo Gularte.

Rodrigo Gularte adalah warga negara Brasil yang tertangkap basah menyelundupkan 6 kilogram kokain di Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 2004 kemudian pengadilan memutuskan untuk menjatuhi hukuman mati padanya.

Apa masalahnya?

Rodrigo telah didiagnosis mengalami gangguan jiwa oleh beberapa ahli psikologi dari Brasil dan Indonesia, namun hakim tetap menjatuhi hukuman mati.

Ahli psikolog forensik Indonesia, Reni Kusumawardhani, bertugas mendampingi Rodrigo Gularte di Nusakambangan. Beliau melakukan beberapa prosedur pemeriksaan pada Rodrigo dan akhirnya menyatakan bahwa Rodrigo mengidap gangguan jiwa berat, yaitu skizofrenia paranoid. Hal ini juga didukung oleh pernyataan psikiater Brasil yang mengirimkan surat keterangan gangguan jiwa yang dimiliki Rodrigo.

Diagnosis ini seharusnya meringankan hukuman terdakwa dan menghindarkannya dari hukuman mati. Sayangnya, informasi itu tidak dipertimbangkan dalam pengadilan sehingga Rodrigo Gularte tetap harus tewas dieksekusi pada tahun 2015.

Psikolog forensik dapat memberikan pendampingannya, memberi kesaksian ahli, dan memaparkan fakta-fakta yang ditemukan melalui observasi dan evaluasinya yang dapat meringankan atau memberatkan kasus, namun tentu saja putusan tetap berada di tangan hakim.

Referensi:

  • https://www.jpnn.com/news/30-organisasi-disabilitas-minta-rodrigo-gularte-jangan-didor
  • https://asasi.elsam.or.id/lagi-menolak-hukuman-mati/
  • Rifki, M., Rahayu, Supriyadhie, K. (2017). Eksekusi Mati Terhadap Orang yang Menderita Gangguan Jiwa dalam Perspektif Hukum (Studi Kasus: Rodrigo Gularte WNA Asal Brasilia), Diponegoro law journal, 6(2), 1-20.
  • Probowati, Y. (2008). Peran Psikologi dalan Investigasi Kasus Tindak Pidana. Indonesian journal of legal and forensic sciences, 1(1), 26-31.

Salma

Baca Juga