Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendra
Tugu Mandeh Siti Manggopoh

Tidak banyak kisah heroik yang menceritakan bagaimana seorang perempuan sekaligus ibu dengan anak yang masih disusui berdiri mengobarkan suatu pertempuran. Ya, ia adalah Siti Manggopoh, “Sang Singa Betina” dari Lubuk Basuang, Sumatera Barat.

Siti Manggopoh lahir di Manggopoh, Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat pada Mei 1880. Pada masa kolonial Belanda, rakyat Minang sudah sangat diberatkan dengan sistem perekonomian yang dimonopoli secara sepihak dan sangat merugikan bagi rakyat. Belum lagi soal pajak yang dipaksakan kepada rakyat.

Persoalan lainnya adalah pemaksaan perubahan nilai-nilai yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, seperti monopoli atas tanah adat, yang dianggap melanggar etika dan telah menginjak-injak harga diri masyarakat Padang.

Perang Paderi yang bergelora pada tahun 1803-1838, membuat kaum adat di beberapa nagari pada akhirnya merasa tidak diuntungkan. Mereka merasa dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi, sedangkan isi keputusan pada perjanjian Plakat Panjang telah banyak dilanggar oleh Belanda.

Diantaranya persoalan pajak atau belasting, yang dianggap sangat tidak manusiawi. Aneka ragam pajak yang diterapkan seolah tidak masuk diakal rakyat Minang. Pajak kepala, pajak barang, pajak penyembelihan, pajak tembakau, pajak rodi, pajak keuntungan, pajak rumah tangga hingga pajak rumah adat.

Berbagai peristiwa pun seringkali terjadi ketika pungutan pajak dilakukan, dari pertikaian, pembunuhan, hingga menimbulkan peperangan, seperti yang terjadi di daerah Kamang Magek, Agam, Sumatera Barat pada Juni 1908.

Marah Rusli, seorang penyair dari Minang pun melakukan kritiknya melalui sastra Siti Nurbaya  yang terbit tahun 1922, “persoalan belasting membuat Datuk Maringgih dan pengikutnya angkat senjata”. Perjuangan para seniman sebagai propaganda anti kebijakan belasting pun secara masif terjadi kala itu.

Peristiwa Perang Kamang

Perang Kamang adalah perang besar yang terjadi usai berakhirnya Perang Paderi, latarbelakang penerapan belastinglah masalah utamanya. Rakyat Kamang sendiri merupakan basis utama pasukan Tuanku Nan Renceh pada masa Perang Paderi.

Kamang, adalah suatu wilayah yang berjarak 16 km disebelah utara Benteng Belanda, Fort de Cock. Suatu hal yang tidak menguntungkan bagi pejuang Kamang pimpinan Syekh H. Abdul Manan ketika menggelorakan perlawanan.

Akibat dari lokasinya yang tidak tidak terlalu jauh dari Fort de Cock dan pos-pos pengawas di sekitar Kamang, akhirnya menyebabkan 100 pejuang gugur ketika pertempuran Kamang meletus, sedangkan korban di pihak Belanda 12 orang meninggal dan 20 lainnya luka-luka.

Sementara itu, guna mengakhiri perlawanan rakyat Kamang yang menentang penerapan belasting di daerahnya. H. Ahmad Marzuki, anak dari Syekh H. Abdul Manan, ditangkap dan diasingkan oleh Belanda keluar Padang.

Perlawanan menentang belasting tidak berakhir begitu saja. Diantaranya adalah perlawanan di Tanah Datar dan di Distrik Sasak kawasan pesisir utara Sumatera Barat. Korban yang besar dipihak pejuang pada setiap pertempuran, kemudian dijadikan evaluasi dalam menyusun siasat perlawanan dikemudian hari.

Gerilya Seorang Ibu dan Anak-anaknya

Mengetahui semangat perlawanan dari beberapa nagari, rakyat Manggopoh pun tidak mau ketinggalan. Mereka secara diam-diam mulai membangun kekuatan dan menghimpun barisan pejuang.

Melihat peristiwa yang terjadi di Kamang dan unjuk kekuatan Belanda yang terpusat di Fort de Cock, rakyat Kamang melakukan pendekatan yang lebih tertutup dalam strategi perlawanannya, terutama dalam menghadapi benteng Belanda di Manggopoh. Mereka menormalisasi rakyat dalam menyikapi belasting.

Siti Manggopoh adalah seorang ibu dari dua anak yang masih kecil, ia ditakdirkan untuk jadi pemimpin pertempuran belasting oleh rakyat Manggopoh karena keberaniaanya menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan, melalui sanggar tarung yang ia buat untuk merekrut pasukannya.

Di sebuah masjid ia berikrar dihadapan suami dan 15 orang pejuang yang berhasil dihimpunnya; “Setapak tak akan mundur, selangkah tak akan kembali”. Sebuah ucapan yang membuat bergidik siapapun tatkala mendengarnya. Ia seorang ibu, yang sedang menyusui anaknya, tiada gentar, atau takut.

Siasat Siti untuk mengetahui kekuatan Belanda adalah dengan cara menggendong anaknya Dalima yang masih bayi agar tidak dicurigai. Sambil menimang ia petakan kekuatan dan jumlah pasukan yang berjaga di dalam dan luar benteng.

Hingga pada suatu malam, serangan itupun dimulai. Pekatnya malam memungkinkan Siti dan Majo Ali dapat menyelinap masuk ke dalam benteng, disusul oleh Dullah dan Rasyid yang mengikutinya dari belakang. Sedangkan, Bagindo Magek beserta sepuluh pejuang lainnya melakukan penyergapan dari luar benteng.

Pasukan Bagindo Magek ini terdiri dari Rahman Sidi Rajo, Tabuh Mangkuto Sutan, Dukap, Muhammad, Tabad Sutan Saidi, Kalik Bagindo Marah, Unik, Sain Sidi Malin, Kana, dan Dullah Pakih. Tak perlu waktu lama, 53 serdadu Belanda berhasil disergap dan dibunuh.

Walau mendapat luka tembak di bahu pada pertempuran di sekitar benteng, pasukan Siti berhasil keluar semua dengan selamat. Muhammad Yaman anak laki-lakinya beserta Dalima yang masih ia susui, dibawa serta bergerilya untuk menghindari penangkapan.

Setelah 17 hari bergerilya di dalam hutan, pasukan Marsose Belanda yang terkenal kejam dalam mengintimidasi rakyat Manggopoh berhasil membuat membuat Siti dan pengikutnya menyerah. Menyerag bukan berarti kalah, tapi demi keselamatan rakyatnya ia bertaruh nyawa.

Segera Siti bersama pasukannya dijebloskan ke penjara Lubuak Basuang selama 14 bulan, dan dipindahkan ke Pariaman selama 18 bulan, serta ke Padang selama 12 bulan. Betapa luar biasanya perjuangan seorang ibu dalam menghadapi konsekuensi dari perjuangannya ini.

Bagindo Magek pun dibuang ke Manado, guna mematahkan semangat perlawanan rakyat Manggopoh. Tetapi, tak lama setelah Bagindo Magek dibuang, Siti dibebaskan oleh pengadilan lantaran jaksa tidak sampai hati melihat Siti bersama anak-anaknya hidup di dalam penjara.

Siti Manggopoh wafat di Gasan Padang, Padang Pariaman pada 22 Agustus 1965. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana pengorbanan seorang ibu yang tengah menyusui anaknya, memimpin suatu perlawanan terhadap Belanda.

Demi masa depan generasinya, ia berani bertaruh nyawa menentang penjajahan. Layaknya perjuangan para tenaga medis saat ini, yang tengah berjuang melawan wabah. Khususnya bagi para pejuang perempuan digarda terdepan, hanya demi masa depan generasi yang merdeka dari wabah mereka rela mengabdi.

Hendra