Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi
Ilustrasi Sebuah Ajaran. (Pixabay)

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah menorehkan banyak pristiwa-peristiwa penting. Mulai dari peristiwa yang setiap tahunnya diperingati, hingga peristiwa yang memang sengaja digelapkan fakta kebenarannya kepada khalayak umum.

Peristiwa G30S/PKI telah menjadi hantu di masyarakat dan sebenarnya masih mengandung kontroversi. Orang-orang PKI dan ajaran-ajaran kiri pun dibabak habis saat era Orde Baru. Dengan itu, Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno juga mendapat imbas atas kejadian tersebut.

Hingga akhirnya Bung Karno dikabarkan dikudeta dari tahta Kepresidenan yang berakhir tragis, sampai pada sisa-sisa akhir hidupnya menjadi tahanan politik. Tidak sampai di situ, ajaran-ajaran yang berbau kiri dimusnahkan pada zaman Orde Baru karena dianggap bertentangan dengan negara dan dipropagandakan sebagai ajaran yang diharamkan oleh negara.

Alhasil, kejadian tersebut juga dirasakan besar kepada ajaran-ajaran Bung Karno. Seorang Proklamator besar yang selalu mengumandangkan persatuan dan kesatuan nasional berakhir di persimpangan jalan. Ajaran Bung Karno pun dianggap sebagai gerakan kiri, bahkan dianggap sebagai bagian dari ajaran Komunis. Hal itu terbukti ketika pemerintahan Orde Baru melakukan politik de-Soekarnoisasi dan de-Ideologoisasi, termasuk buku-buku Soekarno banyak dilarang untuk dibaca.

Ada apa dengan ajaran-ajaran Bung Karno itu sehingga dianggap sebagai ajaran yang berbahaya terhadap Indonesia? Bukankah dalam catatan sejarah bahwa sepanjang hidup Bung Karno, beliau telah menorehkan segala hidupnya terhadap bangsa Indonesia. Walaupun, kesalahan yang dibuat oleh Bung Karno juga ada, tetapi mungkin tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah ia lakukan terhadap kemerdekaan Indonesia.

Ya, ajaran Bung Karno yang kita kenal dengan istilah Marhaenisme adalah suatu asas perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imperialisme. Suatu ajaran yang terkontaminasi dengan ajaran-ajaran Marxisme dan kondisi Indonesia pada waktu. Hal itu disampaikan oleh Bung Karno "kalau ingin memahami Marhaenisme, Anda harus mengetahui ajaran-ajaran Karl Max dan kondisi Indonesia."

Awalnya, istilah Marhaenisme diilhami oleh Bung Karno ketika sedang jalan-jalan di pinggiran kota Bandung, saat statusnya masih mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng sekarang ITB. Hal itu dijelaskan dalam buku "Biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang ditulis oleh Cindy Adams. Bung Karno pada waktu menjumpai seorang petani sedang menggarap tanah yang luasnya tidak cukup untuk makan bersama dengan keluarga.

Hingga akhirnya Bung Karno melakukan wawancara dengan petani tersebut. Dengan itulah, Bung Karno dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa petani tersebut telah ditindas oleh sistem yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda waktu itu. Padahal, faktanya petani tersebut menggarap tanah sendiri, memiliki gubuk (tempat tinggal) sendiri, cangkul (alat produksi) sendiri, tetapi hasil yang ia dapatkan tidak cukup untuk makan bersama sanak dan keluargannya.

Akhir dari wawancara itu Bung Karno menyempatkan untuk menanyakan nama si petani. Ternyata nama si petani itu yakni Marhaen. Ya, Marhaen adalah rakyat kecil. Marhaen tinggal di bumi ibu pertiwi sendiri, punya modal sendiri, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa karena ada sistem yang menindas yang tidak ada keberpihakan kepada rakyat kecil.

Kemudian Bung Karno mengatakan, Marhaen dapat dijadikan sebagai simbol untuk rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Entah itu petani, pedagang, tukang becak, dan kaum buruh. Mereka semuanya adalah kaum Marhaen. Mereka semua telah ditindas oleh sistem penindasan dan mereka juga memiliki nasib yang sama.

Jadi, meskipun nama Marhaen diambil dari kisah seorang petani, tetapi itu hanyalah sebagai simbol untuk orang-orang yang perlu diperjuangkan oleh kaum Marhaenis. Nah, lalu apa perbedaan antara Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme. Mengapa istilah tersebut harus dibedakan dan seperti apa perbedaan sebenarnya?.

Di dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1 tulisan Bung Karno", beliau telah menyampaikan perbedaan dari istilah-istilah tersebut. Pada Kongres Partindo yang diselenggarakan di Mataram 1933, Bung Karno menyampaikan beberapa butir keputusan yakni:

1. Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tipa kapitalisme dan imperialisme.

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.

4. Sedangkan, kaum Marhaeni adalah mereka kaum wanita sebagai rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Bung Karno mengatakan bahwa Marhaen dan Marheni tidaklah boleh saling bermusuhan, tetapi haruslah bekerjasama.

Lalu, apakah istilah-istilah tersebut masih populer saat ini? Apakah generasi saat ini mengetahui kalau ajaran-ajaran tersebut telah memberikan sumbangsih besar terhadap bangsa Indonesia? Termasuk Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, Bung Karno mengatakan bahwa "Pancasila is Marhaenisme, Marhaenisme is Pancasila."

Oleh karena itu, pemikiran Bung Karno tentu tidak bisa hilang begitu saja di dalam masyarakat. Ajaran Bung Karno masih menjadi tema pembicaraan hangat di kalangan aktivitas dan akademisi. Seperti organisasi GMNI, salah satu organisasi yang masih setia untuk terus merawat pikiran-pikiran Bung Karno, karena relevansi pemikiran Bung Karno terhadap Indonesia tentu tidak bisa dielakkan lagi.

Budi