Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Mohammad
Ilustrasi Pikiran. (Pixabay)

Perdebatan antara pihak pendukung Kerja Kuliah Nyata atau KKN luring dengan pendukung KKN daring di kampus saya seolah tak ada habisya. Maklum, 4.000 kepala lebih dalam satu grup Telegram. Jadi ya...nggak bisa dan nggak akan pernah bisa semua sepakat satu pendapat.

Selain itu, bukankah hal tersebut sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia? “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Dalih yang digunakan oleh masing-masing pihak—menurut saya—muaranya selalu sama. Mereka yang ingin KKN online, dalihnya pasti berkisar pada pandemi, sementara pihak yang berharap KKN offline biasanya argumennya mengarah pada kemuakan terhadap pandemi atau kebosanan terhadap sistem online.

Setelah pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM atau L2M) memutuskan bahwa KKN tahun ini dilaksanakan secara daring, kalian tahu lah apa yang terjadi selanjutnya. Pendukung KKN offline tak terima, sementara pihak satunya bersorak riang gembira.

Pihak pendukung KKN offline—apalagi yang sangat fanatik—pasti ingin mendebat, bahkan merubah keputusan pelaksanaan KKN tersebut. Namun apa daya bila birokrasi tak sesuara!? Setelah hype sambatan dan riang gembira dari masing-masing pihak mereda, saya mencoba untuk melakukan riset kepada ‘someone’ perihal sistem pelaksanaan KKN.

Saya bertanya apakah dia lebih memilih KKN offline atau online. Jawabannya cukup panjang, dan intinya dia menganggap bahwa yang namanya “Kuliah Kerja Nyata” itu ya harus nyata. Kalau dilaksanakan secara online itu namanya bukan “Kuliah Kerja Nyata”. Oke, cukup logis.

Sayangnya, jawabannya tersebut kurang merepresentasikan IPK miliknya yang hampir sempurna. “Lho, kok bisa gitu?”. Begini, menurut saya jawaban dari ‘someone’ tadi mengindikasikan penyempitan kreativitas pikiran. Kita semua tahu kan seperti apa potensi pikiran kita?

Saking besarnya potensi pikiran—juga pentingnya eksistensi pikiran dalam diri manusia—banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk selalu menggunakannya (secara benar). Guna menyadarkan manusia tentang potensi pikiran, Al-Quran tidak pernah memerintahkan manusia untuk men-tadabbur-i hal-hal yang kompleks dan jauh dari manusia.

Melalui kalam-Nya tersebut, Allah swt justru memerintahkan manusia untuk memperhatikan secara detail hal-hal yang sederhana dan dekat dengan kehidupan kita. Sayangnya, kita malah banyak melupakan hal-hal sederhana tersebut dan menganggapnya tak bermakna.

Bicara soal besarnya potensi kreativitas pikiran, contoh nyata bisa kita lihat pada anak kecil. Dalam belajar, biasanya anak kecil akan meniru apa yang ia lihat dan dengar dari lingkungan sekitarnya. Apa saja akan mereka pelajari, termasuk musik.

Ketika anak-anak mendengar (dan tertarik) pada suatu musik, mereka biasanya akan memainkan sesuatu untuk menirukan dan mempelajari musik/nada yang mereka dengar tersebut. Terus, apa yang terjadi setelah itu? Anak-anak akan menciptakan nada mereka sendiri yang bisa dibilang unik dan menarik sebenarnya.

Pertanyaan terbesarnya, darimana anak-anak tersebut bisa menciptakan nada mereka sendiri?. Jawabannya jelas, dari kreativitas pikiran mereka. Bila masih tak percaya tentang hal ini, teman-teman bisa melakukan eksperimen sendiri dengan cara meminta anak-anak menirukan teman-teman yang tengah membuat nada.

Jangan mendikte mereka untuk meniru ‘persis’ kita, setelah itu lihat apa yang terjadi. Saya mendapat referensi ini dari buku “Bagaimana Siswa Belajar” karya John Holt, dan saya juga telah melakukan riset akan hal tersebut.

Oke, kembali ke jawaban ‘someone’ tadi tentang KKN harus offline. Di era mabar seperti sekarang, kita telah menemukan banyak perubahan. Hal yang mulanya tak bisa dilakukan, sekarang bisa kita lakukan dengan mudah.

Termasuk salah satunya sistem pelaksanaan KKN. Saya tidak membicarakan KKN dari segi pandemi, saya membicarakan KKN dari sisi kreatif tidaknya manusia yang telah mengenyam kursi dan bangku pendidikan formal dalam waktu yang cukup lama.

Sebagai insan akademis—begitu biasanya kita mengaku—menyatakan bahwa KKN wajib luring nampaknya kurang tepat. Justru, kita harus berusaha mencari jalan keluar bagaimana supaya KKN yang dilaksanakan secara daring bisa memberikan manfaat kepada masyarakat, khususnya yang berada di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal).

Pengasuh pesantren saya menganalogikan keadaan yang kita rasakan saat ini seperti adonan yang tengah digenggam kuat. Adonan yang berhasil keluar melalui sela-sela jari merupakan representasi para manusia yang memiliki kreativitas dalam melewati masa pengekangan seperti sekarang.

Oleh sebab itu, alih-alih menyatakan bahwa KKN harus offline, akan lebih baik bila kita memikirkan solusi kebermanfaatan KKN online. Seperti kata Bu Tejo, “Dadi wong ki, mbok yo sing solutif ngono lho!” Oh...iya, satu lagi! Hati-hati, biasanya pernyataan bahwa KKN harus offline itu cuma kedok untuk mencari jodoh saat KKN. Tapi nggak masalah sih, asal dia nggak sedang menjalani hubungan aja.

Mohammad