Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Risma Nabilah
Ilustrasi tabung oksigen. (iStockphoto/Toa55/Getty Images)

Untuk membantu pasien Covid-19 bergejala berat, dibutuhkan tabung oksigen. Pasalnya, tak sedikit dari pasien mengeluhkan sesak napas. Namun, sempat terjadi kelangkaan tabung oksigen di tengah-tengah masyarakat. Sebab permintaan masyarakat akan tabung oksigen di tempat pembelian alat medis dan tempat-tempat isi ulang meningkat.

Namun, tingginya permintaan tabung oksigen malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum nakal. Oknum tersebut menjual oksigen dengan harga yang sangat mahal, sampai ada yang melakukan pemalsuan oksigen. Hal itu jelas-jelas berbahaya.

Kasus ini pernah terjadi di Tangerang, Banten, ditemukan oknum nakal yang melakukan pemalsuan tabung oksigen medis dengan tabung APAR ( Alat Pemadam Api Ringan). Para pelaku menjual tabung oksigen palsu hingga kisaran harga Rp 4,5 juta Rupiah.

Selain menjual tabung oksigen palsu, oknum yang telah diselidiki tersebut melakukan penimbunan alat medis serta obat-obatan.

Menurut LIPI, jika tabung CO2 terhirup dan masuk sampai kedalam organ manusia, sangat membahayakan dan berpotensi mengganggu proses penyerapan oksigen pada sel tubuh, terutama di paru-paru.

Tabung oksigen medis lebih tinggi kemurniannya, memiliki kadar oksigen 99,5 persen. Sementara tabung oksigen untuk las memiliki kadar 99,2 persen.

Kebijakan tentang distribusi dan penyaluran alat kesehatan sudah diatur dalam PP Kesehatan RI No. 62 Tahun 2017, tentang izin edar alat kesehatan, alat kesehatan diagnostic in vitro, dan perbekalan kesehatan rumah tangga pada pasal 10 ayat 1 sampai 5, mengenai Permohonan Izin Edar Alat Kesehatan, serta pasal 48 yang menyatakan bahwa "Alat Kesehatan Medis, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT direkondisi/ remanufakturing dilarang diimpor, didistribusikan, dan digunakan wilayah Republik Indonesiaā€¯.

Jika kasus ini terjadi kembali, maka melanggar kebijakan dan akan dikenakan hukuman pidana UU Nomor 36 tahun 2009 pasal 197 yang menyatakan bahwa "Jika seseorang dengan sengaja membuat, menditribusikan persediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar, yang dijelaskan dalam Pasal 106 ayat 1, akan dikenakan hukuman pidana 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 1,5 Miliar".

Selain itu, dilanggar juga Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, bahwa "Pemilik usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2, dan Pasal 18, akan dikenakan hukuman pidana dan penjara paling lama 5 tahun, atau pidana denda paling banyak Rp 2 Milyar rupiah.

Maka dari itu, sebaiknya pengawasan tentang pengedaran obat-obatan serta alat kesehatan harus lebih ketat dalam proses perizinan maupun pendistribusiannya.

Hal itu menjadi penting agar masalah ini tidak terulangi lagi, sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat banyak.

Risma Nabilah