Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christof
Ilustrasi YouTube (Szabó Viktor/Pexels).

Industri pertelevisian Indonesia kerap dicap, dituding, dan dianggap menyajikan tayangan yang tidak mendidik, kurang  berbobot, maupun asal-asalan, demi mengejar rating serta cipratan iklan.

Sejumlah konten dan  program televisi sering dikecam karena menyajikan tayangan yang dangkal, kering dari unsur edukasi, sedikit memacu sikap positif dan jarang memberi manfaat bagi masyarakat.

Banyak sekali kritikan tajam dan komentar bernada kesal maupun menyayangkan. Pasalnya, slot dan durasi televisi yang sangat berharga maupun istimewa itu justru diisi program yang tidak jelas kandungan nilai dalamnya.

Ini bisa dilihat dari bertebarannya tayangan gosip dan reality show yang penuh settingan, acara komedi yang penuh unsur sarkatis cenderung kasar dan menertawakan kesusahan orang lain. Belum lagi acara reality show pernikahan atau kelahiran selebritis ternama yang tidak ada urgensinya bagi masyarakat banyak.

Namun, jika ingin ditengok dan diperbandingkan dengan serbuan konten di media sosial seperti Facebook, YouTube, TikTok, dan platform lainnya berbasis internet, tayangan televisi justru lebih aman serta bisa diterima oleh khalayak dan masyarakat Indonesia.

Tayangan konten media sosial malah jauh lebih berbahaya dan merusak. Sebab tayangannya cenderung bebas, tak terkendali, dan sangat liar. Sekacau dan dangkalnya tayangan televisi, konten media sosial justru sepuluh kali lipat berpotensi merusak dan berbahaya bagi masyarakat.

Secara umum, tayangan dan produk konten di televisi sebenarnya telah melalui proses penyaringan maupun penjaringan mutu, yang lebih selektif jika dibandingkan media sosial.

Sebuah produk dan sajian konten di televisi sudah dirancang, dirumuskan, dan dieksekusi melalui konsep yang lebih cermat, matang maupun berhati-hati. Konten tersebut telah melalui editing, setting, penyempurnaan, dan persetujuan pihak redaksi untuk ditayangkan lebih lanjut.

Selain itu, konten di televisi muncul dari sebuah kerja tim yang telah memiliki kompetensi, kualitas, dan kapabilitas pada tingkat tertentu. Sajian di televisi juga telah memenuhi standarisasi, pedoman, patron, norma, dan idealisme dari rumah produksi atau perusahaan pertelevisian, serta sudah dibahas dan disepakati unit-unit  didalamnya. 

Oleh sebab itu, para kru dan unit tersebut memiliki kewajiban, tanggung jawab moral dan sosial untuk memproduksi sebuah tayangan.

Belum lagi, pengawasan dan kontrol mutu dan cara kerja segenap tim atau staff di dalamnya sudah berajalan secara horizontal maupun vertical. Sampai pada akhirnya tak sedikitpun memberi ruang untuk memunculkan kesalahan atau penyimpangan, serta pelanggaran norma maupun etika.

Ini masih ditambah dengan kontrol sosial dan masyarakat, budaya, agama, serta negara yang dengan setia mengawalnya. Jika diibaratkan sebuah negara, pembuatan dan penayangan konten di televisi sudah diawasi oleh ‘polisi’ dan ‘hakim’ yang siap mempermasalahkannya.

Hal ini berbanding jauh dengan proses pembuatan dan produksi konten media sosial. Banyak sekali konten yang muncul, datang dari tangan yang masih belum bisa dipercaya kapabilitas dan kemampuannya. Ditambah lagi dengan kepribadian, integritas, dan prinsip moral yang dianutnya.

Masih banyak konsep dan rancangan konten media sosial, hanya berlandaskan pemikiran dan pandangan pribadi, tanpa pembahasan tim lebih mendalam. Tidak ada pula pembenahan oleh anggota tim atau senior lainnya.

Parahnya lagi, pembuat konten di media sosial masih banyak yang  belum memiliki kesadaran dan tanggung jawab mengenai etika, moral, prinsip nilai, tanggung jawab kewajiban sosial , serta prosedur tingkah laku tertentu.

Ini masih ditambah dengan kurangnya fasilitas seleksi, sensor, kurasi atau deteksi dari konten yang akan diunduh. Bahkan pihak YouTube pernah mengungkap bahwa mereka tidak mampu menyaring dan menyeleksi mana konten mendidik, konten sampah bin omong kosong, atau konten yang tak berisi sekalipun.

Lagi lagi,jika diibaratkan sebuah negara, pembuatan dan penayangan konten di YouTube dan media sosial lainnya  tidak terawasi oleh ‘polisi’ dan ‘hakim’ yang bisa menuntut pertanggungjawaban, bila terdapat kesalahan dan penyimpangan. Smua penilaian dan penyaringan seolah hanya mengandalkan dari komentar serta teguran dari pemirsanya.

Dengan demikian, sudah saatnya para pengguna internet, kini lebih berhati hati dalam memilah atau memilih konten yang akan dikonsumsi. Mereka juga dituntut untuk lebih proaktif mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, mempermasalahkan, atau memberi hukuman sosial jika tayangan tersebut sudah dirasa menyimpang.

Jangan ragu untuk tidak sedikitpun memberi like, subscribe kepada mereka yang menyebar dan memproduksi konten media sosial merusak serta tidak mendidik. Karena ini akan sama saja memberi persetujuan dan pembenaran terhadap apa yang mereka lakukan.

Saatnya masyarakat Indonesia menjadi penonton dan pengguna internet cerdas, dengan tidak sembarangan menyebar maupun melipatgandakan tayangan yang merusak dan justru menghancurkan mental serta moral masyarakat.

Christof