Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | JUNAEDI SE
Ilustrasi Musik (C-D-X/Unsplash)

Bagaimana sebenarnya hukum musik menurut Islam? Perdebatan hukum musik apakah diharamkan atau diperbolehkan sampai saat ini, masih menjadi pro dan kontra di  kalangan umat Islam sendiri.  

Sementara menurut Imam Nawawi, menghukumi musik itu haram. Sebab musik dianggap syiarnya orang fasik. Tetapi pendapat Imam Nawawi apabila dipanjanglebarkan lagi, bagaimana jika musik itu malah dapat dijadikan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah, maka keharaman musik batal menurut hukum. 

Saat ini, musik diperdebatkan lagi ketika ada fenomena santri tutup telinga saat dengar musik karena dianggap dapat mengacaukan hafalan Alquran bagi mereka.

Hal ini pun mengundang podcaster nomer wahid, Deddy Corbuzer yang berbuntut dengan ajakan dari para santri untuk unsubscribe channel YouTube yang sudah mencapai 15,7 juta subscriber tersebut.

Bukan tanpa alasan, ajakan unsubsribe itu gara-gara Deddy Corbuzer berkomentar miringnya soal aksi tutup kuping santri penghafal Alquran tersebut.

Sebetulnya, kalau Anda faham dengan penjelasan Cak Nun beberapa tahun yang lalu terkait musik itu haram atau halal, sudah tak ada masalah lagi.  Tetapi barangkali ada yang lupa-lupa ingat, saya coba review terkait penjelasan Cak Nun.

Sebelum mempertanyakan musik itu halal atau haram, terlebih dahulu kita harus tahu unsur-unsur musik yang terdiri dari bunyi, nada, irama dan alat-alat musik. Apakah dari unsur-unsur musik itu ada yang dilarang?Jawabannya tentu tidak ada.

Lebih lanjut menurut Cak Nun, bahwa dalam memutuskan sebuah hukum, maka alat yang digunakan pertama kali adalah akal, pikiran, logika, analisa dan hati. Kemudian substansi dari hukum tersebut mengapa diharamkan, jika titik substansinya adalah lalai (melupakan Allah) dan menyekutukan Allah (musyrik). 

Ternyata persoalannya ada pada perilaku manusianya, yang melupakan Allah siapa, kamu? Kenapa musik yang diharamkan? Yang salah itu kamu bukan alatnya. Orang atau ulama yang mengaharamkan musik adalah orang yang tidak mampu melihat musik secara ruhani, tetapi hanya fisiknya saja.

Sementara menurut Gus Baha, ketika Alquran mulai menarik dikaji di Arab (Makkah-Madinah), Nadhor bin Harist mengimpor buku-buku dari Yunani, Romawi, Persia, yang buku-buku itu kalau sekarang ada, cerita fiktif dan macam-macam tujuannya untuk menandingi menariknya Alquran.

Jadi lahwal hadits menurut Imam Suyuthi tidak menyangkut musik. Akan tetapi ada ulama yang memaknai lakwal hadits itu musik dangdutan dan macam-macam, itu salah. Tetapi musik yang seronok itu haram, cuma qiyasnya begini saya ajari.

Mengimpor buku dari Persia itu supaya orang belajar buku itu, kemudian meninggalkan Alquran. Kemudian orang suka musik yang menghibur yang maksiat itu juga nanti mengakibatkan meninggalkan Alquran itu, termasuk waminas man yastari lahwal hadits. Hukumnya sama yang khilafnya ulama adalah asbabun nuzul. 

Alha yulhi ilhaa. Alhakumu nglalekna sira kabeh. Apa attakatsuru, ing akeh-akehan bondo dunya. Alha dari apa? Jika dengan alat musik digunakan untuk sholawatan. Inilah masalah bagi umat islam, maka kalau mengaji harus sampai tuntas.

Contoh gampang, orang yang mendengarkan Hadad Alwi, Sulis atau Opick. Kemudian memainkan alat musik seperti Marawis, lagu-lagu religi, kita tidak bisa mengaharamkan, alha dari apa?

Justru dengan musik semakin cinta terhadap kanjeng Nabi. Dengan musik, menjadikan bersholawat kepada Nabi dan menangis semakin dekat dengan Allah, tidak bisa hal seperti tersebut diharamkan. 

Walaupun Imam Nawawi berpendapat apabila ada pertanyaan bagaimana hukum memainkan gitar, organ tunggal yang penting diharamkan dulu, karena musik adalah syiar orang-orang fasiq, tetapi masih menyisakan pertanyaan dalam hati kecil ketika alat itu dimainkan untuk sholawatan.

Bahkan orang-orang tasawuf  menjadi dekat dengan Allah melalui sholawat dan musik. Dalam konteks seperti itu, musik disebut alha dari apa?

Terkait musik yang seronok, semua ulama bersepakat haram hukumnya. Tetapi untuk menghukumi musik secara universal karena terdiri dari beberapa unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, maka harus dilihat dari maksud dan tujuan bermusik.

Dalam hal ini, musik dapat diartikan lahwal hadits maupun alha. Apabila maksud dan tujuannya untuk meninggalkan atau menandingi Alquran. Atau lebih parahnya lagi dengan bermusik malah membuat diri menjadi lebih jauh dari keimanan dan ketaqwaan, hal ini sudah barang tentu semua ulama bersepakat akan mengharamkan musik.

JUNAEDI, esais Mbantul

JUNAEDI SE