Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Azharudin
Ilustrasi merenung (Pixabay).

Saya pernah membaca sebuah buku tentang Ilmu Kalam, di sana dipaparkan bahwa manusia memiliki 2 kondisi yakni ‘musayyar’ dan ‘mukhayyar’. ‘Musayyar’ adalah keadaan di mana manusia tak bisa memilih.

Sementara ‘mukhayyar’ adalah keadaan di mana manusia memiliki kuasa untuk memilih. Contoh dari ‘mukhayyar’ itu begini, ketika disuguhi minuman keras (air aki), kita bisa memilih untuk meminumnya atau memilih untuk tidak meminumnya.

Sementara itu, contoh dari ‘musayyar’ misalnya, kita nggak bisa minta lahir dari rahim ratu/pembantu/ketua partai/PNS/Muhammad Fatah, maksud saya Ayluna Putri. Nah, termasuk dalam kategori ‘musayyar’ juga adalah menjadi generasi sandwich.

Tampaknya saya nggak perlu memaparkan panjang-lebar apa itu generasi sandwich, toh mayoritas juga sudah tahu. Kalau ada yang belum tahu, googling ya. Menjadi generasi sandwich memang bukan pilihan, bukan juga keinginan. Bahkan mungkin kita mewakili orang-orang yang senasib sampai saat ini belum tahu alasan kenapa ditakdirkan menjadi generasi sandwich.

Tiada yang lebih berat dari menjadi generasi sandwich. Bahkan lebih berat dari rindunya Dilan ke Milea. Kendati belum menikah, punya anak, dan punya penghasilan tetap, saya merasa bibit generasi sandwich telah secara tidak langsung ditanamkan pada diri saya.

Saya melihat sendiri bagaimana ibu mudah marah dan uring-uringan kepada semua orang di rumah saat ekonomi bapak sedang tidak lancar. Saya melihat sendiri bagaimana adik-adik saya yang masih kecil nggak pernah dibelikan mainan yang mereka inginkan, karena pendapatan bapak sudah habis dialokasikan ke pendidikan anak-anaknya.

Karena tak tega, saya kadang menyisihkan sedikit uang beasiswa untuk membeli mainan yang mereka inginkan. Itu hanya demi menjadikan masa kecil mereka sedikit lebih ceria dan berwarna.

Hal seperti itu tentu juga dirasakan oleh orang-orang yang bernasib sama dengan saya. Ketika orang lain pergi ke cafe mewah, beli makanan dan minuman yang mahal, kami cuma bisa nonton story-nya.

Jika pun ingin, kami bisa saja melakukan hal yang sama. Namun, nurani kami nggak akan tega membayangkan anggota keluarga yang nggak bisa ikut menikmati makanan seperti kami.

Kami akan lebih memilih untuk membeli makanan sederhana untuk seluruh anggota keluarga dibanding pergi ke cafe mewah tanpa mereka. Ketika menjalani peran sebagai generasi sandwich, sering kali saya menguatkan diri saya sendiri dengan mengingat-ingat ayat penghujung surat al-Baqarah yang penggalan terjemahnya kurang lebih begini, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”.

Hal-hal semacam ini tentu saja tak pernah terpikirkan dan tak dirasakan oleh orang yang dengan gampang beli laptop 7 jutaan untuk mengoperasikan Microsoft Office.

Menjadi generasi sandwich menurut saya sama dengan sebuah tuntutan untuk terus belajar bersyukur dalam keadaan yang tak henti-hentinya membuat kita mengeluh. Kalau pun hendak menggugat, mau menggugat pada siapa? Pada Tuhan? Pada semesta? Pada orang tua kita? Pada adik-adik kita?

Yang bisa kita lakukan adalah melapangkan hati, juga terus kerja keras dan kerja cerdas. Dalam keadaan serba terhimpit seperti itu, tiba-tiba datang sebuah tuntutan untuk cepat-cepat nikahin doi.

Saya, mungkin juga beberapa laki-laki yang senasib dengan saya, jelas tak bisa berkata apa-apa ketika mendapat todongan seperti itu. Bukan karena kami nggak ingin segera menikah. Ada sebuah problematika kompleks dalam pikiran kami yang mungkin nggak akan pernah dimengerti oleh mereka yang nggak merasakannya.

Iya, kami tahu nikah itu ibadah, kami pun mafhum nikah itu sunnah Nabi saw. Kami juga sadar sebagian besar lingkungan di negeri tercinta ini memaksa perempuan untuk segera punya suami selepas usianya menginjak kepala dua. 

Namun, di sisi lain kami juga sadar bahwa bapak-ibu kami kian tua. Dan, adik-adik kami semakin tumbuh, bukan hanya dari segi usia tapi juga kebutuhan. Kami nggak mungkin tega melihat orang tua kami yang sudah berada di usia senja tak bisa istirahat karena kerja keras.

Kami juga nggak mau kebutuhan adik-adik kami nggak bisa terpenuhi, terutama kebutuhan pendidikan. Mau-tidak mau, kami dipaksa oleh keadaan untuk peduli dan ikut bertanggung jawab pada semua itu.

Ketika kami diberi pertanyaan, “Kapan kamu mau melamarku? Kapan kamu serius dalam hubungan ini?”. Kami akan benar-benar bungkam. Kami hanya bisa meminta doa pada doi supaya kami diberi kekuatan untuk bersabar dan terus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri, orang tua, juga adik-adik.

Apabila doi dan keluarganya menganggap kami terlalu lama, kami tentu tak akan melarang mereka untuk mencari orang lain. Karena kami telah menerima dan menyadari segalanya. Untuk seluruh teman-teman generasi sandwich, benar apa yang dikatakan Ariel NOAH,

“Tak perlu kau sesali...

Hidup kan membuatmu memahami

Coba untuk tetap berdiri

Jalani mimpi!”

Semoga apa yang dilakukan generasi sandwich mendapat ridho dan keberkahan dari-Nya. Amiin!.

Mohammad Azharudin