Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi Prathama
Ilustrasi Foto Suryopranoto. (Instagram/@ikpni_pahnas)

Mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita nama sosok Suryopranoto. Perlu diketahui, Suryopranoto merupakan pahlawan Indonesia yang dikenal pemberani, memiliki jiwa semangat melawan penjajah kolonial Belanda yang tak pernah pudar. 

Tentu ada banyak pahlawan-pahlawan bangsa ini yang dikenal punya jiwa pemberontak terhadap pemerintahan kolonial. Salah satu di antaranya adalah Suryopranoto. Pada masanya, ia sering disejajarkan dengan Semaun yang juga terkenal jiwa pemberontakannya. Bahkan Suryopranoto adalah salah satu pemimpin gerakan buruh yang sangat disegani. 

Suryopranoto lahir pada 11 Agustus 1871 di Yogyakarta. Ia putra dari Kanjeng Pangeran Suryaningrat (yang masih keturunan Paku Alam III) dan kakak kandung dari Suwardi Suryaningrat atau yang biasa dikenal Ki Hajar Dewantara. Ketimbang dengan adiknya itu, mungkin nama Suryopranoto tidak terlalu populer dikenal. Namun, perjuangan Suryopranoto pun juga tak kalah penting. 

Semasa kecil, Suryopranoto bernama Iskandar yang mempunyai jiwa pemberontak. Ia sering kali membantah gurunya dan sering berkelahi dengan anak-anak Belanda. Namun, pemberontakannya itu, acapkali juga mengarah pada tatanan budaya feodal. Dalam ceritanya, konon ia pernah menggergaji gelar "Raden Mas" yang tertempel di papan namanya. 

Saat masih sekolah di Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, ia sudah berembuk dengan teman-teman seangkatannya untuk membentuk perhimpunan pergerakan untuk melawan kolonialisme di bumi Jawa. Nama perhimpunan itu "Pirukunan Jawi". Namun, karena banyaknya kendala, perhimpunan tersebut tidak berhasil diwujudkan.

Meski demikian, keyakinan Suryopranoto sangat kuat bahwa di kemudian hari akan ada perhimpunan yang akan mengangkat derajat rakyat kecil, dan akan selalu berpihak kepadanya untuk menentang penjajah. Setelah lulus dari OSVIA, ia pun menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian. Bahkan, dengan keyakinannya, tanpa ragu ia ikut juga bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan menjabat sebagai sekretaris di Yogyakarta. 

Suryopranoto memang dikenal selalu tidak sepaham dengan pemimpin atau atasannya. Hal itu terbukti saat ia menjadi pegawai di Jawatan Penerangan dan Bantuan Pertanian di Wonosobo. Ia sering kali konflik dengan atasannya yang orang Belanda, sehingg meninggalkan jabatan tersebut pada tahun 1914 dan melanjutkan pendidikan di sekolah pertanian di Bogor. Di situlah, ia bertemu dengan Douwes Dekker yang membuat semangatnya makin antikolonial. 

Tidak lama setelah bergabung di organisasi Budi Utomo, jiwa pemberontak Suryapranoto pun kembali tumbuh dan merasa resah di organisasi Budi Utomo yang eksklusif para priyayi saja. Menurutnya, Budi Utomo terlalu berhati-hati dan lambat untuk bergerak, sampai tak terasa di kalangan rakyat tingkat bawah. 

Akhirnya, ia pun memutuskan meninggalkan Budi Utomo, dan tidak lama setelahnya berhasil mengorganisir gerakan bernama "Adhi Darma". Gerakan tersebut hampir sama dengan badan sosial yang memberi bantuan kepada orang yang tidak mampu, khususnya bidang sosial dan pendidikan.

Sampai pada tahun 1919, Suryopranoto berhasil mengetuai serikat-serikat sekerja pegadaian guna selalu memberikan pengarahan dan dukungan. Bahkan di tahun yang sama, ia juga berhasil mendirikan sekaligus memimpin Serikat Sekerja Gula yang dikenal dengan Personeel Febriek Bond (PFB). Kepemimpinan tersebut mendapatkan dukungan dari H.O.S Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan Haji Agus Salim, mengingat juga bahwa Suryopranoto adalah anggota dari Sarekat Islam (SI). 

Selama masa kepemimpinan Suryopranoto, sekitar 3.000 buruh pegadaian melalukan pemogokan di Yogyakarta dan dapat menjalar ke tempat-tempat lain pada tahun 1922. Saat itu, ribuan buruh dipecat. Hal itu membuat Suryopranoto berinisiatif mendidirikan yayasan untuk merangkul keluarga buruh yang dipecat atau dijebloskan ke penjara. Atas kepedulian dan keterlibatannya dalam pekerja-pekerja kecil, ia menjadi tokoh panutan dari golongan buruh. 

Di samping itu pula, ia mendirikan Komite Hidup Merdeka di Yogyakarta dan menjabat sebagai ketua. Tujuan didirikannya komite tersebut, untuk mendidik rakyat Indonesia menjadi manusia yang bebas dan merdeka, atas ketergantungan hidup terhadap pemerintah kolonial. 

Perjuangan Suryopranoto untuk melawan penjajahan kolonial Belanda memang tak kenal ampun. Bahkan ia memperoleh julukan "De Stakingskoning" atau raja pemogokan karena tindakannya yang tak mengenal istilah kompromi. Dengan itulah, ia sering kali masuk penjara, tahun 1923 dipenjara di Malang, tiga tahun berikutnya di Semarang, tahun 1933 dipenjara di Sukamiskin, Bandung. 

Memang betul Suryopranoto dikenal sang pemberontak. Namun, pemberontakannya itu sebagai bukti kecintaannya pada Indonesia dan keberpihakannya pada rakyat jelata. Perjuangan ia untuk melawan kolonialisme bangsa asing dapat dijumpai melalui aksi-aksi pemogokan yang dilakukan. Jadi memang benar, Suryopranoto adalah sang pemberontak, pemberontak demi rakyat dan bangsanya.

Referensi: 

Prasetya, Johan. "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan." Penerbit Saufa. 

Budi Prathama