Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Para perajin gong di Wirun, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah.

“Menjadi yang terbesar, menjadi yang terbelakang. Bunyi yang terlampau rendah, namun menjadi peleram bagi lainnya. Ampuan tugas, kewibawaan, serta pamong bunyi, menjadi melekat atas kehadirannya.”

Gong dalam ansambel gamelan kiranya menjadi instrumen yang paling mudah untuk diingat: bentuk paling besar, kedudukan paling belakang. Tidak hanya itu, di beberapa desa di Jawa, Gong menjadi pengganti kentongan.

Kiranya kita sudah pernah melihat adanya Gong yang digantung di teras rumah, balai pertemuan, ataupun di gardu ronda. Di setiap kali ada sebuah kegiatan, secara parsial Gong digunakan sebagai piranti untuk membuka ataupun menutup acara. Bahkan, Gong menjadi simbol dari sebuah perdamaian: Gong Perdamaian. 

Gong menjadi sebuah instrumen yang barangkali universal. Sebab, persebarannya yang ada di berbagai penjuru tempat. Selain itu, Gong menjadi instrumen yang kiranya menduduki hati di masyarakat, dapat dilihat dari kompleksnya fungsi dari Gong.

Di Gamelan Jawa, perlakuan terhadap instrumen Gong begitu istimewa. Setiap kali pemilik atau pakuncen gamelan menghaturkan sesaji, itu diletakan di dekat Gong. Kemudian, di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Boyolali misalnya, terdapat Gong yang selalu dibungkus dengan kain putih. Kain itu akan dibuka ketika gamelan dimainkan: pada saat ritus jamasan malam satu Suro. Laiknya Gong yang lain, Gong ini juga diberikan sesaji di dekatnya. Ironinya, hanya instrumen Gong saja yang diperlakukan begitu, padahal terdapat gamelan satu pangkon.

Kemudian, di Jawa juga terdapat istilah ngeGongi ketika makan. Maksudnya adalah menyisakan makanan yang paling lezat untuk dimakan paling akhir. Barangkali, istilah ini mengadopsi dari peran Gong yang biasanya ditabuh paling akhir.  Dalam hal musikal misalnya, terdapat salah satu karya dari (alm) I Wayan Sadra yang berjudul “Daily”. Dalam karya itu, ia memainkan instrument gong dengan cara yang berbeda dari kelazimannya: diseret, dibenturkan, dan lain-lainnya.

Terjadi perbincangan panas waktu karya itu dipentaskan. Secara subyektif, saya pernah menemui kasus ketika ada penari Kalimantan yang tengah memainkan karya tradisi dari daerahnya. Ia menaiki Gong dan menari di atasnya. Di sisi kiri saya, menyeletuk seorang yang tidak saya kenal, ia menggumal dengan lihainya. Meskipun saya sadar bahwa estetika yang berbeda antara Jawa dan Kalimantan, sehingga hal tersebut tidak patut untuk diperbincangkan. Atas kasus-kasus yang ada, masyarakat Jawa tampak menjaga kewibawan Gong. Bahkan, menjadi sensitive atas perilaku yang berbeda dari kebiasaannya. Barangkali, Gong menduduki status spesial di kalangan masyarakat Jawa.

Kedudukan

Setiap kali ada sebuah kegiatan, kiranya kita sering menyaksikan adanya pembukaan ataupun penutupan acara ditandai dengan sebuah Gong. Meskipun, terdapat instrumen lain, Gong menjadi primadona opsional sebagai sarana tersebut. Dalam wawancara yang saya lakukan terhadap Pak Rusdiyanto (dosen karawitan ISI Surakarta), gong disebut menjadi simbol kedudukan tertinggi.

 “Gong menjadi simbol kedudukan tertinggi. Seringkali kita lihat bahwa orang yang memukul Gong adalah pejabat tertinggi dalam acara tersebut," ungkapnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Pak Sigit Astono, dosen etnomusikologi ISI Surakarta), “Gong memang menjadi simbol atas kedudukan tertinggi di Gamelan”.

Kemudian, di antara banyaknya instrumen gamelan, Gong juga menjadi simbol atas doa-doa yang terpanjat ketika menghaturkan sesaji. Dalam menghaturkan sebuah panjatan doa, pasti akan dipilih seseorang yang dituakan di kelompok tersebut.

“Doa dari yang tertinggi pasti akan cepat sampai. Begitulah kira-kira kenapa sesaji diletakan di dekat Gong," kata Rusdiyanto.

Laiknya sebuah kelompok, Gong menempati posisi tersebut di dalam ansambel gamelan. Barangkali, rekam historical yang panjang dari Gong menjadi indikator tersebut. Pasalnya, dapat kita lihat relief-relief yang ada pada Candi Prambanan, Borobudur, Penataran, dan lain sebagainya. Secara usia, Gong sudah ada sejak abad ke 7, bahkan lebih dari itu. 

Bunyi

Dalam penataan ansambel gamelan, Gong selalu diletakan paling belakang. Jika diletakan di depan kiranya akan menutupi instrumen lainnya, sehingga saya kira perhitungan visual berlaku dalam hal ini. Selain perhitungan visual, barangkali terdapat perhitungan akustika.

Meskipun, Gong memiliki bentuk paling besar di antara instrumen yang lain, tapi ia punya bunyi paling kecil atau berada dalam frekuensi rendah. Meskipun begitu, bunyi yang dihasilkan ketika dimainkan dalam repertoar gending, Gong mampu meleram keseluruhan bunyi yang ada menjadi rata. Di beberapa daerah, saya sering mendengar istilah bahwa Gong memiliki peran “hangabehi”.

Gong selalu menjadi titik seleh atas kalimat nada, khususnya Gong ageng. Pada titik seleh inilah peran dari Gong dalam meleram keseluruhan bunyi yang sudah berjalan. Dalam buku bertajuk “Fisika Bunyi Gamelan” karangan Hanggar Budi Prasetya, Gong memiliki minimal 2 frekuensi: Frekuensi fundamental dan frekuensi gembyangnya. Frekuensi fundamental terlahir dari bagian pencu, sedangkan frekuensi gembyang terlahir dari lingkaran sisinya.

Hal inilah yang melahirkan ombak, dan di atas ombak tersebut, peran Gong sebagai peleram ditemui. Gong yang memiliki spektrum bunyi lebih dari satu frekuensi, menyimpan makna lain. Hal itu mengartikan bahwa dalam satu pukulan Gong, dihasilkan berbagai nada. Atas dasar tersebut, Gong gong bisa digunakan dalam seleh berapapun (Prasetya, 2011).

Secara Subyektif, kemampuan Gong dengan bunyi yang relatif rendah, tetapi mampu melahirkan getaran panjang-getaran ini, kiranya mampu memangku keseluruhan bunyi yang ada. Ditambah lagi ombak atau gaung Gong yang tidak dimiliki instrument lainnya. Atas kemampuan itu, maksud dari hangabehi kiranya adalah kemampuan akan meleram atas keseluruhan bunyi tersebut.

Atas peran itu juga, barangkali Gong menjadi yang dituakan, terlepas dari perjalanan historikalnya. Secara kontekstual, seorang yang dituakan diharapkan mampu menjadi penengah serta peleram dari anggota-anggotanya. Meskipun ia berada di belakang, tetapi Gong ia menjadi pamong utama dalam perjalanan bunyi yang terajut dalam repertoar sebuah gendhing. 

Tafsiran-tafsiran atas paparan di atas terdapat benang merah, di mana bunyi Gong yang mampu meleram instrumen. Kemudian Gong yang menjadi tetua dalam ansambel gamelan. Gong yang menduduki posisi tertinggi secara kontekstual. Serta Gong yang menjadi sarana pembuka dan penutup sebuah acara. Rajutan atas fenomena yang terjadi ini barangkali menjadikan Gong mendapatkan status dan menduduki perilaku berbeda dari masyarakatnya.

Simbol Kultural

Manusia adalah homo symbolicum, ia mengejawantahkan ungkapan dengan menggunakan simbol. Peristiwa semacam ini seringkali dan banyak ditemui pada masyarakat Jawa, bukan hanya situasi mutakhir, bahkan sejak dahulu kala. Gong kiranya juga menjadi media atas simbol tersebut.

Menurut Cassirer (dalam Alan P. Meriam:1963), seni termasuk musik adalah perangkat simbolis untuk menjadi pembeda dari pendekatan lain, dengan cara sebagai berikut: sains memberi kita keteraturan dalam pikiran; moralitas memberi kita ketertiban dalam tindakan; seni memberi kita keteraturan dalam pemahaman yang terlihat, nyata, dan penampilan yang dapat didengar.

Gong dalam paparan di atas menduduki status tertinggi dalam kelompoknya, ia menjadi tetua. Bunyi yang dilahirkan oleh Gong menjadi peleram bagi keseluruhan bunyi yang ada dalam ansambel gamelan. Dalam sikap kultur manusia Jawa, tetua juga mengampu tanggungjawab tersebut.

Ketika dalam suatu desa terdapat konflik, tetua menjadi orang yang selalu dimintai pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan dari tetua kebanyakan menjadi aminan bagi masyarakat desa. Kehadirannya krusial untuk ketentraman desa, tetua mampu meleram dan menggaungkan bunyi rendah untuk meratakan bunyi-bunyi tinggi dari masyarakatnya. Selain itu, tetua desa selalu menjadi rujukan ketika terjadi permasalahan kultural, khususnya keadatan. 

Sikap kultural yang tumbuh di kalangan masyarakat Jawa ini barangkali menjadi pengejawantahan atas Gong. Sikap kultural ini pula yang barangkali menumbuhkan perlakuan atas Gong, atau sebaliknya. Hal ini tampak pada perlakuan dan sikap manusia Jawa terhadap Gong yang saling bertautan.

Semoga saja nilai dari keberadaan Gong terungkap menjadi perilaku sehari-hari. Sehingga, gaung gong menubuh dalam diri masyarakat untuk menjadi peleram-setidaknya untuk diri sendiri, kemudian untuk orang lain. Dengan begitu, ketentraman akan senantiasa terajut di tanah sarat makna ini.

Supriyadi Bas