Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Ledekan (Facebook/IndonesiaTempoDoeloe by Didik Jumadiono)

“Tidak hanya sebagai hiburan, namun juga menjadi sarana kaul. Tidak sekedar di jalanan, melainkan mampu menembus jalan doa kahyangan. Kini, tidak lagi menjadi, karena gertakan zaman berteriak untuk meninggalkan.Kini, tidak ada ungkapan ‘beber’ di penjuru jalanan, karena kelakar zaman menginjak dan menenggelamkan dengan begitu kekar.”

“Beber… Beber, Pak, Buk! Bebeer…!” ungkapan ini lazim terdengar di sepanjang jalan waktu itu. Ungkapan ini disuarakan untuk menawarkan jasa meraka. Bunyi kendang menyeru untuk memberikan tanda berkumpul kepada masyarakat sekitarnya. Biasanya, di perempatan pusat desa rombongan ini berhenti dan  memainkan pertunjukannya.

Seiring berjalannya sajian, satu per satu warga datang dengan antusiasnya. Menyaksikan lihainya tubuh sang penari dengan sampurnya. Alunan “cuilan” ansambel gamelan yang begitu ritmisnya, serta  lantunan nyanyian yang begitu erat dengan suasanana kerakyatan. Peristiwa semacam ini terpampang ketika Ledekan datang “mengamen” di desa-desa.    

Biasanya, rombongan Ledekan ini menyusur dari desa satu ke desa lainnya. Menenteng alat musik berupa: kendang, saron, kempul, dan gong. Terkadang, terselipi oleh siter, tetapi tidak selalu ada. Selain itu, terdapat dua penari yang secara parsial disebut “ledek”. Dulu, saat kesenian ini masih aktual, sorak-sorai penonton senantiasa tergambar di mimic wajah mereka. Ada yang hanya menonton saja, ada yang ngibing, ada juga yang urakan menggodan si penari yang begitu eksotisnya. Kini, suasananya semacam itu jarang sekali nampak di desa-desa. Kini, suasana sorak-sorai karena hadirnya Ledekan tak lagi terserukan.

Sarana serta Perantara

Ledekan yang begitu akrab dengan masyarakat desa ini, tentu tidak begitu saja terbentuk. Sebuah kebudayaan akan lahir dari suatu masyarakat mengiringi kebutuhan dari masyarakat tersebut. Tak terkecuali Ledekan. Dulu, iklim masyarakat desa di Klaten begitu dekat dengan adanya Ledekan.

Ketidakdatangan Kesenian Ledekan akan menjadi sebuah penantian berhari-hari. Bahkan, ketika memang kesenian tidak segera datang, salah seorang utusan dari desa akan datang dan menjemput kesenian ini di rumahnya. Bagaimana tidak, wong kesenian ini penting bagi masyarakatnya.

Ledekan ini tidak hanya untuk menyenangkan hati atas hiburan yang diberikan. Namun, kesenian ini hadir sebagai sarana penunaian kaul. Secara emperik, peristiwa kaul pernah teralami oleh keluarga saya saat saya masih kecil. Dulu, saat bapak saya hendak menjual dua petak tanahnya (karena memang mebutuhkan uang dengan cepat), beliau berkaul akan nanggap Ledekan. Ketika tanah tersebut sudah laku, beberapa hari kemudian kaul yang beliau ucapkan segera dinunaikannya.

Selain contoh itu, seringkali terjadi di masyarakat Klaten pada umumnya adalah ketika hasil panen yang bagus akan menghadirkan Ledekan. Tidak hanya kebutuhan manusia itu sendiri, nanggap Ledekan untuk kepentingan binatang peliharaan (ketika sakit agar segera sembuh) juga massif dilakukan oleh masyarakat Klaten secara umum waktu itu. 

Kesenian Ledekan, selain memiliki fungsi hiburan kerakyatan, ternyata juga mempunyai fungsi sakral; menjadi sarana dan perantara penunaian kaul masyarakat. Bagaimana tidak? Kesenian Ledekan ini hadir sebagai piranti atas janji seseorang terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap Sang Ilahi. 

Keironian seorang Ledek

Terlepas dari Kesenian Ledekan, sosok penting di balik kesenian ini adalah penarinya (disebut ledek). Sebelum menari di tengah masyarakat, ledek dan penabuhnya akan menari terlebih dahulu di makam desa. Tujuannya adalah untuk memohon izin menari di daerahnya (makam: tempat leluhur).

Selain itu, permohonan izin juga untuk menjadi saksi akan kaul-kaul yang tengah dan telah dinunaikan oleh anak-cucunya. Hal ini menjadi sebuah kewajaran mengingat masyarakat Klaten masih mempercayai mengenai danyang (penunggu di suatu desa atau tempat).  Seusai tarian di makam, ledek dan para penabuh akan ke perempatan desa atau rumah yang mengundangnya, kemudian menari di tempat itu.

Ledek, gerak-tarian, serta malam hari menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga unsur inipun menjadi dan membuat stigma negatif bagi kebanyakan orang. Di masyarakat, ledek acapkali diidentikan sebagai biduan dan seringkali dipandang negatif (mengacu dalam konteks sensualitas).

Hal tersebut tentu tidak bisa dipungkiri, mengingat paradigma masyarakat yang sudah terbentuk semacam itu. Namun, jika ditelisik di luar paradigma sensualitas yang telah terbentuk, ledek menjadi sosok yang penting akan kesenian Ledekan serta bagi masyarakat itu sendiri.

Gemulai gerakan sang ledek menjadi simbol penunaian kaul yang tengah dinunaikan, sabetan sampur sang ledek menjadi sebuah pengesahan bahwa kaul yang tengah dinunaikan sudah akan berakhir. Hal ini tentu ironi mengenai paradigma serta fungsi dari ledek itu sendiri.

Ledek memang hadir di waktu malam (stigma mengenai perempuan keluar pada malam hari kebanyakan negatif), menghadirkan gemulai gerak yang begitu memesonakan, dandanan cantik dengan berbagai paes yang mengindahkannya. Namun, ledek menjadi perantara atas manusia dengan kaulnya kemudian diteruskannya kepada Sang Ilahi untuk pengesahannya. Tanggungjawab yang begitu luhur dan beraroma spiritualitas itu tidak sepadan dengan pandangan masyarakat yang kebanyakan negatif. Pun begitu, segala hal senantiasa memberikan dua makna, positif dan negatif. 

Kiwari

“Dulu diandalkan, kini ditinggalkan!” ya, kalimat tersebut kiranya pantas untuk disematkan terhadap Kesenian Ledekan. Dulu, masyarakat menanti-nanti kedatangannya, bahkan menjemput untuk memenuhi kebutuhannya. Dulu, masyarakat memperlakukannya sebagai primadona, menjadikan andalan di setiap kali penunaian kaulnya.

Kini tidak lagi seperti itu. Kini, harum keberadaanya tak lagi seperti dulu. Berbagai faktor penyebab tidak eksisnya kesenian ini, salah satunya (lagi-lagi) zaman. Zaman menjadi sebuah pintu gerbang untuk kemajuan namun juga menjadi pintu akhir berbagai macam hal, salah satunya Kesenian Ledekan.

Ledekan yang memiliki makna mendalam ini dipaksa tenggelam ke dalam arus zaman. Ledekan yang menjadi perantara spiritualitas berbagai macam hal ini, dipaksa luruh dan ditinggalkan.Meskipun, keberadaannya kini tak lagi diindahkan, tetapi pengetahuan akan Ledekan tentu harus tetap disebarluaskan.

Pun, tidak ada peristiwa yang tak bermakna. Kesenian Ledekan menjadi sebuah saksi bahwa kehadirannya menjadi sebuah sarana bagi masyarakat atas kaulnya. Menjadi perantara atas seseorang terhadap Sang Esa. Meskipun eksistensimu kini tak lagi semerbak seperti dahulu, tetapi coretanmu sangat bermakna bagi masyarakat, entah itu menyenangkan hatinya ataupun melancarkan laku spiritualitasnya. Semoga harummu kian semerbak. Amin!

Supriyadi Bas