Di Jawa, kepercayaan ihwal suleten kiranya masih ditunaikan oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang membakar pakaian si bayi, maka si bayi akan mengalami panas api itu, atau bahkan terdapat coretan bakar di kulitnya. Pakaian bayi ini masih terikat dengan si bayi, sehingga apa yang dirasakan pakaian, si bayi akan turut merasakan. Begitulah kira-kira kandungan mitos suleten ini. Peristiwa kiwari, popok memang menjadi salah satu penyumbang besar atas sampah yang ada di sungai. Salah satu faktornya ya suleten ini. Kemudian, perihal yang pantas untuk direnungkan ialah nasib lingkungan, khususnya sungai dengan adanya peristiwa suleten.
Bukan salah alam kiranya banjir datang melanda dan merugikan masyarakat. Sebab, itulah karma yang harus dituai. Jujur, tanpa mengurangi rasa hormat, hal yang menyebalkan bagi saya ialah mengkambing-hitamkan alam atas “bencana” banjir yang dialami manusia. Bagi saya, alam adalah sebuah cermin raksasa. Apa yang dikacakan terhadap cermin ini, itulah yang sepantasnya terpantulkan. Syahdan, berbenah patut untuk dilakukan agar tuaian baik juga didapatkan.
Mitos sebagai Pendekatan
Di sungai, kita akan menemukan berbagai macam barang “buangan” manusia. Tak hanya popok tentu saja; plastik, baju, ember pecah, botol kaca, dan tidak tahu harus menyebut apa; saking banyaknya. Namun, salah satu sampah yang menarik perhatian adalah pembalut. Dalam konteks suleten, pembalut dan popok kiranya menjadi benda yang kurang lebih fungsinya sama. Perbedaannya ya itulah. Sama dalam hal ini artinya berinteraksi atau menampung hasil sisa tubuh.
Kemudian, dari pantauan saya terhadap berita-berita yang ada, tidak saya temukan ihwal wanita yang mengalami suleten. Jika suleten hanya berfungsi pada bayi, lantas bagaimana jika popok yang dibuang ke sungai ini akhirnya dibakar oleh orang lain; atau disobek-sobek oleh orang lain. Jika itu terjadi, tentu si bayi akan mengalami peristiwa yang sama dengan yang dilakukan orang lain itu. Kemudian, jika popok ini mengambang di sungai; tentu popok ini akan basah. Seharusnya, si bayi juga mengalami kedinginan laiknya popok itu.
Bagi saya, mitos menjadi sebuah pendekatan dalam mendidik anak. Misalnya “jangan memotong kuku malam hari”, mitos ini tentu akrab di telinga masyarakat Jawa. Larangan ini tentu diberikan pada zaman dulu. Sebab, zaman dulu orang memotong kuku dengan pisau/celurit. Sehingga, membahayakan jika dilakukan karena zaman dulu tidak ada penerangan yang mumpuni. Kemudian, “kalau makan jangan di tengah pintu, nanti akan dimakan buto”. Secara etika, makan di tengah pintu akan menghalangi jalan, sehingga mengganggu orang yang berlalu-lalang.
Ketika terjadi gerhana bulan, orang Jawa zaman dulu tentu akan mengatakan bulannya dimakan oleh buto. Kini, kita menyadari bahwa gerhana terjadi karena bulan, bumi, dan matahari berada dalam garis lurus. Demikian dengan suleten, pada zaman dulu belum ada popok. Sehingga, tafsiran zaman dulu memanglah pakaian bayi.
Zaman dulu, motto “banyak anak= banyak rezeki” begitu tersemat. Sehingga, baju bekas yang digunakan si bayi masih bisa digunakan untuk adiknya kelak. Barangkali, pendekatan yang aktual dulu semacam itu. Selain itu, dalam kedokteran sudah ditemukan sebab adanya suleten atau istilah medisnya impetigo. Semoga saja pola pada gerhana mampu diadopsi dalam peristiwa suleten.
Warisan Kemaslahatan
Saya sangat yakin bahwa orang-orang zaman dulu begitu menghargai keberadaan alam. Kita bisa lihat adanya ritus-ritus desa seperti nyandran kali, labuhan merapi, sedekah bumi, dan lain sebagainya. Selain itu, kemaslahatan terhadap sesama begitu dijunjung. Misalnya, kultur orang Jawa yang suka mengalah demi orang lain; rewang. Jika kita lihat, manusia Jawa dahulu akan datang membantu memasak dan mengesampingkan kepentingannya demi kepentingan orang lain. Pola semacam ini juga nampak dalam kultur siskamling, dan kegiatan sosial lainnya. Ironi kiranya dengan peristiwa kiwari.
Kepercayaan terhadap suleten tentu tidak bisa disalahkan. Namun, jika kita tilik kultur masyarakat zaman dulu, tentu suleten menjadi sebuah keironian. Pasalnya, suleten sangat bertentangan dengan kemaslahatan bersama juga kemaslahatan alam. Kita kiranya tidak meneropong secara menyeluruh, tetapi meneropong pada kepentingan diri sendiri. Sehingga, nilai akan kemaslahatan begitu diabaikan. Padahal memang kemaslahatan merupakan warisan leluhur juga, sama seperti suleten.
Jika boleh saya menerka, manusia kiwari lebih mementingkan dirinya dibandingkan kemaslahatan bersama. Akan hadir tawa ketika diuntungkan, dan akan hadir teriakan ketika dirugikan. Manusia memang tidak ingin terugikan. Atas terkaan ini, fenomena akan pembuangan popok kiranya masih massif terjadi. Jika saja kita mau menerima keseluruhan warisan ihwal suleten juga kemaslahatan ini, tentu saja pembuangan popok ini akan menjadi tanggungjawab personal: tidak akan merugikan orang lain dan juga merugikan alam.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Mengenal Piramida Budaya Perkosaan, Dari Lelucon Bisa Berujung Pelecehan
-
Kisah Dipo Alam, Eks Timnas Indonesia yang Sukses Bisnis Es Krim di Amerika Serikat
-
Menjelajahi Pafikotasingkawang.org: Komitmen terhadap Pengembangan Komunitas dan Pelestarian Budaya
-
Kehamilan Remaja: Bisakah Kita Berhenti Melihat Pernikahan Sebagai Solusi?
-
Viral Dinsos Bogor 'Berlibur' ke Bali, Tinggalkan Warga Hadapi Bencana Alam?
Kolom
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
Ujian Nasional dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
-
Menggali Makna Mahasiswa 'Abadi': Antara Idealisme dan Keterlambatan Lulus
-
Nggak Perlu Inget Umur, Melakukan Hobi di Umur 30 Itu Nggak Dosa Kok!
-
Kuliah atau Kerja? Menyiasati Hidup Mahasiswa yang Multitasking
Terkini
-
Review Novel The Lantern of Lost Memories, Kisah Studio Ajaib bagi Jiwa yang Pergi
-
Selamat! Shenina Cinnamon Menang Penghargaan Festival Film di Filipina
-
Cameron Diaz Siap Beraksi di Film Back in Action, Intip Teaser Perdananya
-
Review Film Gladiator II, Tekad Lucius Bangun Ulang Kejayaan Roma
-
Takluk 4-0 dari Jepang, Saatnya Shin Tae-yong Didepak dari Timnas?