Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Kuburan Lisang (DocPribadi/Supriyadi)

Di Klaten, terdapat kepercayaan ihwal bayi lisang atau bayi trek. Bayi lisang ialah sebutan bagi bayi yang meninggal di dalam kandungan. Dalam kepercayaannya, bayi lisang diyakini belumlah sepenuhnya mati. Ia masih hidup dan masih melingkari keluarganya. Bayi lisang dipercaya akan menjadi penuntun dalam hidup orang tua; ia akan mengantarkan orang tua ke jalan terang keilahian. Hal ini didasarkan pada kesucian bayi ini. Karena belum terlahir di dunia, ia terselimuti oleh kesucian. Dengan begitu, ia dianggap mampu menuntun ke sinar kesucian tersebut.

Bayi lisang dimakamkan di area pekarangan rumah, tidak di makam pada umumnya. Masyarakat percaya bahwa bayi lisang masih membutuhkan pelukan-penjagaan-naungan dari orang tua, sehingga dimakamkan di area rumah supaya tetap dekat dengan keberadaan orang tua. Selain itu, kedekatan inilah yang menjadi entitas penting dalam menjaga hubungan antara orang tua dan si jabang bayi.

Makam yang digunakan untuk mengubur bayi lisang umumnya disebut kuburan trek atau kuburan lisang. Umumnya, makam ini berukuran panjang 1-1,5 meter; lebar 80-1 meter; dan tinggi kira-kira 1 meter. Meskipun kepercayaan ini kian usang, tetapi artefak mengenai makam ini masih dapat disaksikan di beberapa rumah. Bahkan, beberapa daerah di lereng Merapi Klaten, masih menunaikan kepercayaan ini.

Aborsi

Tempo hari, peristiwa duka kiranya dialami oleh kebanyakan masyarakat di negeri ini. Hal ini dikarenakan terjadinya peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh (alm) Novia Widyasari. Ia bunuh diri di samping makam ayahandanya. Salah satu faktor penyebabnya karena ia diminta pacarnya untuk menggugurkan janin yang dikandungnya. Atas peristiwa tersebut, saya turut berduka! Semoga beliau di sisiNya!

Peristiwa laiknya yang terpapar, kiranya juga dialami oleh wanita lain. Entah itu atas kesepakatan ataupun dipaksa untuk aborsi. Kompas melansir, “2,3 juta kasus aborsi pertahun, 30 persen oleh remaja”. Meskipun secara holistik dihuni oleh pasangan sumai istri, tetapi tidak sedikit pasangan yang belum menikah melakukan kegiatan ini. Disadur dari Tirto, “58% remaja putri yang hamil di luar nikah berniat aborsi”. Tajuk ini kiranya tidak boleh diabaikan, entah terealisasikan atau tidak. Namun, aborsi menjadi masif dilakukan kiwari. Meskipun pelbagai upaya preventif dilakukan oleh pelbagai unsur: sosialisasi, dan sebagainya, tetapi kesadaran personal kiranya juga perlu ditumbuhkan

Ironi

Aborsi tidak saja membunuh janin yang dititipkan. Kegiatan ini juga berbahaya bagi sang ibu. Pasalnya, kebanyakan aborsi yang dilakukan di negeri ini dilakukan secara ilegal. Perhatian inilah yang kiranya patut untuk digarisbawahi. Menyadur dari CNN, “sebanyak tiga puluh persen dari angka kematian ibu melahirkan (AKI) diakibatkan oleh aborsi atau pengguguran kandungan”.

Maraknya kegiatan aborsi kiwari, menjadi sebuah keironian terhadap peristiwa bayi lisang. Bayi lisang tiada bukanlah sebuah kesengajaan, tetapi memang menjadi sebuah kehendak Sang Ilahi. Harapan dari sang ibu yang mendambakan kebahagiaan atas karunia dan dipercayai menerima titipan ini menjadi kandas. Tidak berhenti di situ; meskipun kehilangan janin, tetapi penghormatan atas kesempatan mengandung tetap ditandaskan menjadi peristiwa kuburan lisang.  

Keberadaan kuburan lisang yang ada di pekarangan, menandai keterikatan keberadaan. Meskipun secara fisik sang bayi tidak tampak, tetapi ikatan lainnya tetap terjalin. Meskipun, tidak berkesempatan menjaga dan merawat bayi dalam entitas yang nyata, tetapi penunaian menjaga dan merawat bayi tetap dikhidmati. Keironian inilah yang terjadi kiwari.

Dalam peristiwa kuburan lisang, kiranya menjadi sebuah terminal untuk kita mencerap kandungan nilainya. Seoptimal-optimalnya upaya preventif yang dilakukan oleh berbagai pihak, tidak akan mujur bila dalam diri personal tidak menumbuhkan kesadaran. Barangkali, peristiwa bayi-kuburan lisang menjadi bahan kontemplasi agar aborsi, khususnya di luar nikah tidak lagi terjadi. Amin!

Supriyadi Bas