Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Pemecahan genting (DocPribadi/Supriyadi)

Kematian menjadi bagian tak terpisahkan bagi yang hidup. Bagi manusia Jawa, kematian dipandang sebagai peristiwa yang yang penting. Pandangan ini mewujudkan sebuah perlakuan atas kematian seseorang, yakni upacara kematian. Dalam prosesi upacara yang dilakukan, terdapat rentetan ritus yang saling terpaut, mulai dari pemandian, penyucian, brobosan, dan seturutnya. Masing-masing ritus menyuratkan maksud tersendiri. Bagi masyarakat Jawa secara parsial, ketiadaan salah satu ritus kematian dianggap mengurangi nilai dari upacaranya, sehingga tradisi ini selalu dinunaikan.

Salah satu dari rentetan ritus kematian dalam masyarakat Jawa ialah pemecahan genting rumah dari orang yang telah tiada. Sebelum diberangkatkan, ritus terakhir yang dilakukan adalah memecahkan genting. Seusai genting terpecah, anak-cucu akan menyapunya dengan sapu lidi. Kemudian, hasil pecahan genting ini ada yang ditinggal di rumah, ada juga yang dibawa ke liang untuk turut dikuburkan. Kedua pilihan itu bergantung pada kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Simbol

Ketika aktivitas menyapu, anak-cucu diwajibkan untuk menyuarakan sebuah nyanyian. Nyanyian ini hanya dikumandangkan ketika prosesi menyapu berlangsung. Cuilan dari nyanyian ini ialah, "pu sapu gerang, ra nyapu-nyapu wonge, myaponi sukertane". Secara subyektif, ketika mendengar nyanyian ini terkumandang, atmosfer tempat duka sedikit mencekam. Barangkali, nyanyian ini menjadi sebuah mantra tersendiri dalam prosesi ini.

Sedangkan, arti dari cuplikan nyanyian tersebut ialah "pu sapu (pu merupakan potongan dari kata sapu) besar/dewasa, bukan menyapu orangnya, tetapi menyapu 'kotorannya'". Nyanyian ini mempunyai maksud untuk membersihkan kotoran (orang Jawa sering menyebut sawan) dari orang yang sudah meninggal. Harapannya, kotoran ini turut terkubur ke ke tanah (alam) serta rumah yang sebelumnya digunakan terbersihkan.

Kiranya, peristiwa pemecahan serupa bagi masyarakat Jawa banyak ditemui di berbagai ritus selain kematian. Misalnya pada tradisi ganti jeneng bayi. Meskipun bukan genting, tetapi pola dan maknanya sama. Dalam ritus itu, pemecahan ini menyimbolkan sebuah penghancuran kotoran yang terbawa oleh si jabang bayi. Sehingga, ketika pergantian nama sudah diketok-palukan, kotoran yang sebelumnya sirna dan tidak terbawa pada nama yang baru (kehidupan dengan nama baru).

Kemudian, pada tradisi pemindahan bayi lisang di kuburan trek. Di ujung ritus, pemecahan genting dari makam/kuburan lisang juga dilakukan. Hal ini menyimbolkan penghilangan kotoran agar tidak menggangu penghuni pekarangan yang terdapat kuburan tersebut. Atas contoh-contoh terpapar, kiranya dapat ditarik sebuah benang merah terhadap aktivitas pemecahan (entah itu genting ataupun aron pada tradisi ganti jeneng bayi), yakni menyirnakan kotoran. 

Leluhur

Kemudian, dalam syair nyanyian tersurat menyebutkan kata sapu gerang. Dalam pemaknaan ini, terdapat berbagai sudut pandang. Saya menggunakan sudut pandang yang ideal bagi saya dengan kondisi kultur daerah yang saya tempati. Di daerah saya (Klaten bagian barat), sapu lidi selain sebagai bentuk fungsionalnya, juga diilhami sebagai wujud leluhur. 

Kiranya, kita sering menyaksikan adanya untaian lidi yang dipasang di atas pintu depan rumah sebagai tolak bala. Kemudian, ketika para petani menolak hujan dengan media sapu lidi. Biasanya lidi paling tinggi ditancapi dengan bawang dan cabai. Ataupun mengamati folklor ihwal tidak diperbolehkannya memberikan sapu lidi kepada orang tua dengan cara dilanturkan melalui tangan. Biasanya memberikan sapu ini dilakukan dengan cara melemparkannya. Karena jika dilakukan dengan dilanturkan (dari tangan ke tangan) dianggap pamali.

Dari paparan tersebut, masyarakat daerah saya memandang bahwa sapu lidi adalah ejawantah dari leluhur. Sehingga, setiap kali terdapat ritus-ritus sapu lidi kebanyakan hadir untuk menyertai sebagai sarana upacara. Tidak terkecuali pada ritus pemecahan genting. Dalam peristiwa pemecahan genting, serakan-serakan dari genting kemudian dirapihkan dan dibersihkan oleh sapu (leluhur). Dengan begitu, kotoran yang ada di rumah benar-benar terbersihkan oleh leluhur. 

Pun, dalam peristiwa tolak balak ataupun tolak hujan. Leluhur menjadi kunci atas penolakan serta pembersihan harapan dari anak-cucunya. Atas peristiwa tersebut, layak jika masyarakat Jawa menjaga hubungannya dengan leluhur: berwujud nyekar. Sebab, penjagaan leluhur tetap dirasakan meskipun tidak berwujud fisik.

Supriyadi Bas