Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Foto anak-anak di dusun Bombang. (DocPribadi/BudiPrathama)

Tepat tanggal 1-3 Mei 2019, kami dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Polman dan Majene, berkunjung ke suatu daerah terpencil berada di kaki gunung dusun Bombang, desa Patambanua, kecamatan Luyo, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Meskipun ceritanya sudah lama, tapi kenangan tetap membekas di hati kami semenjak mengunjungi tempat tersebut, kami telah melihat realita yang memilukan di sana. 

Bombang salah satu daerah terpencil di kabupaten Polewali Mandar, ia termasuk daerah yang kurang perhatian dari pemerintah setempat, baik persoalan pendidikan, kesehatan, realitas sosial, dan terlebih masalah infrastruktur. Sehingga masalah-masalah demikian itu, membuat kami tersebut dan merasa meronta melihat bahwa memang benar kesejahteraan belum sepenuhnya dirasakan warga masyarakat Indonesia. 

Perjalanan yang kami tempuh ke sana cukup melelehkan, kendaraan roda dua yang kami gunakan harus rela menanggung rasa capek dan pegal akibat perjalanan seperti layaknya sungai kering. Perjalanan yang dilalui melewati batu-batu besar, hingga kadang motor kandas untuk melewatinya. Ditambah pula dengan perjalanan dari jalan poros juga terhitung lumayan jauh. 

Seusai sampai ke dusun Bombang, tak membuat pikiran kami tenang, justru berpikir melihat keadaan yang terjadi di sana. Kondisi masyarakat terlihat sangat jauh dari kehidupan yang ada di kota, warga masih menggunakan bahasa daerah mereka sendiri, deretan rumah-rumah kayu pun berdiri masih desain kuno. 

Terlebih dari itu, juga terlihat sekolah yang mulai lapuk dan terlihat tidak terawat. Anak-anak sesekali terlihat mengintip kami, seakan berkata bahwa kenapa ada orang asing yang memasuki daerahnya. Saat malam hari, suasana alam terdengar sunyi, alam hitam gelap karena tak ada penerangan yang berbanding terbalik di perkotaan. Tak ada penerangan, apalagi listrik di tempat itu. Hingga kadang ada masyarakat yang justru makan malam saat masih sore hari, demi menghindari gelap malam menggangu ketentraman makan dan waktu istirahatnya. 

Keceriaan anak-anak tak sebanding hak yang mestinya ia dapatkan sebagai warga negara Indonesia, seperti hak pendidikan dan kesehatan. Hingga kondisi itu banyak anak-anak yang tidak sekolah dan lebih memilih membantu orang tua mereka untuk bekerja. 

Meskipun ada sekolah di tempat itu, tapi tenaga pengajarnya yang tidak ada, mungkin karena kondisi jalan yang sangat menakutkan sehingga tidak ada guru yang berani mengajar di tempat itu, atau bahkan gaji guru yang tidak sesuai saat mengajar di sana, tetapi yang jelas di sana tidak ada tenaga pengajarnya. Hanya sesekali saja, Babinsa dari Polman yang biasa mengajar kepada anak-anak di sana, itu pun biasa terjadi sekali dalam sebulan. Kondisi memang memprihatinkan dan membuat kami tak melupakannya. 

Mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai petani ladang, hasil panen ladang itulah satu-satunya sumber penghidupan mereka. Biasanya saat mulai musim panen, para petani di sana harus rela meninggalkan rumahnya sekitar 2-3 bulan untuk perawatan dari ladangnya. 

Kekayaan alam di sana sangat jarang ada yang dibawa ke perkotaan untuk dijual, itu disebabkan karena akses yang tidak mendukung dan berpikir panjang jika ingin keluar dari daerah tersebut. Hingga, buah-buahan di tempat itu ada rusak saja karena tidak memungkinkan untuk dijual. 

Meski tidak lama di sana, kami dari teman GMNI Majene dan Polman menyerap banyak cerita yang tak bisa dilupakan. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti mengajar pengenalan huruf, mengajar menghitung, dan pengenalan bahasa Indonesia. Di samping itu, juga dilakukan kerja bakti bersama masyarakat Bombang. 

Harapan dari masyarakat Bombang sebelum kami meninggalkan tempat itu agar kami kembali lagi ke sana. Terlebih lagi, warga berharap semoga pemerintah memperhatikan kondisi mereka di sana. Mereka juga warga asli negara Indonesia yang berhak mendapatkan haknya, terutama pembangunan infrastruktur jalan sebagai akses untuk dapat menopang atau penyuplai kebutuhan pendidikan dan kesehatan. 

Budi Prathama