Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
ilustrasi buku dan kopi (pexels.com)

“Apa perbedaan antara peresensi, resensator, pengulas buku, dan book reviewer?” tanya seorang kawan. Ia bertanya begitu sebab tahu bahwa di matanya, saya termasuk seorang peresensi yang rajin. Membagikan hasil ulasan buku tiap akhir pekan menjadi landasannya memanggil saya demikian. Namun, ia juga masih menyimpan kebingungan terkait istilah-istilah tadi. Menurutnya, ada beberapa orang yang memanggil seorang pengulas buku dengan peresensi. Sementara lainnya dengan resensator, dan sisanya pengulas buku atau book reviewer. 

Saya pun menjelaskan satu per satu. Bahwa kalau kita menilik pengertian yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bentuk baku bagi orang yang melakukan kegiatan meresensi sebuah buku disebut peresensi. Adapun sebutan resensator, istilah ini tidak tercantum di dalam KBBI, sehingga tidak menjadikannya baku. Beberapa kalangan memang masih memakainya, tetapi tetap, istilah tersebut tidak dikatakan sesuai untuk menyebut peresensi bila mengacu aturan sesuai KBBI.

Sementara itu, untuk sebutan pengulas buku dan book reviewer, pada dasarnya kedua istilah tersebut merujuk pada subjek yang sama, yakni peresensi. Hal yang membedakan, kalau kita cermati menurut kaidah penulisannya, istilah pengulas buku sedikit berbeda dalam penyajian tulisan. Ada yang beranggapan, semua orang bisa saja membagikan hasil ulasannya di media manapun, juga tanpa terlalu memperhatikan kaidah penulisan dalam tubuh ulasan tersebut. Merekalah yang disebut pengulas buku atau book reviewer. 

Lain halnya dengan peresensi. Tulisan yang dihasilkan seorang peresensi, yaitu resensi, dipandang memiliki kaidah penulisan tertentu dalam pembuatannya. Dahulu, pemuatan resensi pun hanya bisa ditayangkan di media-media cetak saja. Namun, dewasa ini, seiring perkembangan zaman, perbedaan di antara istilah-istilah tadi mengalami pengaburan. Kita sangat bisa merujuk satu tulisan dengan istilah yang berbeda-beda, dan orang lain pun akan mahfum terkait objek apa yang kita tunjuk. 

Lalu, bagaimana dengan Bookfluencer? tanya kawan saya lagi. Sebenarnya, istilah Bookfluencer baru merebak belakangan ini, seiring akrabnya penggunaan media sosial, khususnya Instagram, di dalam keseharian kita. Istilah itu sendiri berasal dari peleburan dua buah kata, yakni Book (Buku) dan Influencer (Pemengaruh), sehingga kalau dicari padanannya, kita bisa menyebutnya sebagai Pemengaruh Buku. Bisa dikatakan, istilah ini dipandang sebagai perpanjangan nama dari peresensi dan pengulas buku. Kegiatan utama mereka sama-sama mengulas buku, kemudian membagikannya ke kanal-kanal media sosial mereka. 

Yang sedikit membedakan, para Pemengaruh Buku ini memiliki kencenderungan khusus, bahwa seperti yang dikatakan Okky Madasari, mereka adalah bagian dari upaya merebut ruang publik media sosial untuk menjadi ruang percakapan gagasan, untuk menyebarkan opini-opini yang berdampak, bagian dari ekspresi kreatif.

Oleh sebab itu, kegiatan para Pemengaruh Buku tidak sekadar mengulas buku dan membagikannya, tetapi juga menginisiasi ruang percakapan dan diskusi yang sehat di kanal-kanal media sosial. Soal temanya sendiri, kebanyakan tak jauh-jauh dari pembahasan buku, isu-isu perbukuan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan dunia literasi.  

Wahid Kurniawan