Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Nurillah A.
Logo suara.com.[arkadiacorp.com]

Saya senang sekali membaca, meski tak pantas disebut sebagai pembaca yang baik. Saya senang membaca buku, koran atau yang lain. Pada koran, misalnya. Saya kerap membaca perkembangan politik, berita yang terjadi hari ini atau cerita hiburan seperti puisi dan cerpen.

Namun, seiring digitalisasi merambah pada beragam sektor, satu per satu media cetak mengalami senjakala. Ada yang memilih berhenti cetak, ada pula yang beralih pada bentuk digital sebagai upaya bertahan sekaligus mengikuti perkembangan zaman.

Mula-mula saya menemui kesulitan manakala membaca berita di gawai. Bukan apa-apa, saya merasa berbeda saja antara memegang koran dan memegang gawai. Ada aroma kertas yang tak bisa saya hirup dari gawai, dan ada kepuasan saat saya membolak-balikkan koran yang itu tak bisa saya dapati di digital.

Ah, mungkin saya yang terlalu idealis. Saya pun berusaha beradaptasi. Saya berusaha menguatkan mata ketika harus berlama-lama memandang gawai demi sebuah berita. Lama-lama, saya menemukan kenyamanan di dalamnya.

Akhirnya, saya terbiasa membaca berita dari sana. Namun, tak lama kemudian, saya merasa terusik akan berita-berita di dunia digital. Ketika dunia website memiliki peran signifikan, sering saya mendapati berita hoaks yang itu sangat merugikan bagi pembaca. Beragam tulisan yang menggiring publik menuju perpecahan seakan terus berulang.

Saya pun berusaha menyaring, berita mana yang dapat dipercaya, dan mana yang tidak. Akhirnya, saya memilih media yang namanya sering saya dengar. Misalnya, Kompas, Tempo, Jawa Pos, Tribun, atau Detik. Selain itu, ada satu portal yang sering muncul di halaman pertama manakala keyword berita saya letakkan di halaman pencarian Google. Siapakah gerangan? Ya, Suara.com

Saya tak menampik, jika saya baru mengenal Suara.com sekitar 3-4 tahun terakhir. Mula-mula saya membiarkan saja. Lama-lama saya sadar jika Suara.com seringkali nongkrong di halaman awal mesin Google, dan membuat mata saya tertarik untuk membaca berita di sana.

Itu adalah pengalaman yang paling saya ingat. Bagaimana proses saya yang semula tak melirik, akhirnya menjadi semacam candu. Tentu, di ulang tahun yang ke-8 ini, saya berharap Suara.com senantiasa menjadi media yang terus menjaga kepercayaan publik. Bukan apa-apa, di tengah banyaknya berita hoaks dan ujaran kebencian yang menebar di dunia maya, kita juga perlu media yang bisa mendidik.

Dan terakhir, meski di dunia digital, semoga Suara.com terus mengikuti perkembangan zaman agar tak senjakala di kemudian hari. Amin.

Nurillah A.