Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Ilustrasi bermaaf-maafan saat lebaran. (Shutterstock)

Idulfitri atau karib juga disebut Lebaran adalah momen yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Orang-orang tercinta dan kaum kerabat saling berjumpa dan bersuka cita. Satu sama lain duduk bersama, saling mengobrol, berbagi cerita. Mungkin menebus ketertinggalan akan waktu-waktu sebelumnya yang jarang atau sukar bertemu. 

Tak kalah penting, di Indonesia, momen Lebaran selalu identik dengan ajang maaf-memaafkan. Ada yang menyebut pur-puran, kembali jadi kertas putih, dimulai dari nol (macam ucapan petugas SPBU).

Pendek kata, segala silap, alpa, dan khilaf harap dinihilkan (atau dianggap nihil) sehingga hubungan dua pihak yang semula tersela ganjalan atau sumbatan dapat lancar dan (kembali atau semakin) harmonis.

Itu adalah gambaran sekaligus harapan ideal. 

Nyatanya? Fakta di lapangan, sebagaimana kerap dikeluhkan warganet, momen Lebaran justru dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang merasa superior untuk "membombardir" pihak lain yang dianggap inferior dengan kata-kata atau pertanyaan menyakitkan.

Jamak diketahui, seperti, "Kapan nikah?" "Kapan lulus kuliah?" "Kapan hamil?" "Kapan punya anak lagi?" "Gendutan apa ya?" "Jilbabmu sekarang gede, kayak Taliban." "Sekarang kamu pelihara jenggot? Seperti kambing saja." "Lho nggak mau salaman sama lawan jenis? Sok suci saja kamu!"

Kata-kata tersebut dan yang sejenisnya, dapat ditarik ke banyak segi. Pertama, mungkin orang yang melontarkannya, sekadar bertanya, hanya bercanda, atau cuma bilang karena bingung hendak berkata apa setelah sekian waktu tidak berjumpa. Jadi, kata-kata itu dijadikan bahan pembuka atau jembatan penyambung obrolan. Si pelontar kata tidak terlalu serius menginsyafi apa lapis makna di balik pertanyaan itu?

Sebaliknya, karena kondisi dan mental setiap orang tidak bisa disamaratakan, kata-kata tersebut bisa jadi sangat menyakitkan atau minimal membuat tidak nyaman. Momen saling memaafkan jadi ternodai oleh tutur kata maupun sikap melukai.

"Aku cuma bercanda. Jangan dimasukkan hati," yang diucapkan jika pihak lain tersinggung tidak semestinya dilakukan. Sebab dengan kesadaran penuh, seharusnya pihak pelontar kata sadar (apalagi jika usia yang bersangkutan tergolong senior) bahwa bercanda semestinya membuat orang senang gembira, bukan terluka. Kecuali jika maksudnya adalah bersuka cita di atas luka nestapa orang lain. Itu lain soal.

Kedua, kata-kata tersebut menunjukkan kontradiksi alias pertentangan. Di awal meminta maaf, minta segala salah dinolkan, tapi disambung kesalahan berikut. Tidak nyambung bukan? Antar kata atau kalimat yang semestinya mengandung kesebangunan, solid satu sama lain, justru tidak kohesi dan koheren (meminjam istilah tata bahasa Indonesia).

Ketiga, menyambung bagian pertama, kondisi mental tidak orang tidak bisa disamakan. Ada yang mentalnya kokoh tak tertandingi macam Semen Gresik (ups, malah iklan), tidak sedikit pula yang di bagian-bagian tertentu sensitif dan rawan. 

Maka bukan pihak seberang yang diyakinkan bahwa kata-kata nylekit itu cuma bercanda. Tapi diri sendirilah yang harus pandai mengukur dan menimbang, dengan siapa bicara? Jika sudah biasa saling guyon, mungkin kata-kata seperti itu tidak menyakitkan. Sekali lagi, mungkin. Namun, bagi yang belum akrab atau jarang ketemu, atau pribadi yang terindikasi sensitif di bagian tertentu, tentu mencari kata-kata lain jauh lebih bijak lagi bermanfaat.

Keempat, jika boleh ditelisik lebih jauh, kata-kata seperti di atas, apakah betul-betul tulus keluar dari hati? Atau sekadar meluncur tanpa dipikir? Sekadar kepo buat memuaskan rasa ingin tahu, lain tidak?

Kelima, diakui atau tidak, pelontar kata-kata sebagaimana tersebut, menyimpan rasa superioritas tersendiri. Menganggap diri lebih dari yang ditanya atau dikomentari. Karena dia sudah menikah, maka dia merasa berhak mengomentari orang yang belum atau tidak menikah. Karena dia kaya secara harta maka merasa boleh mengomentari pihak lain yang dikira tidak sukses ... dan seterusnya.

Keenam ...? Ah, sudahlah. Saya tidak mau merepet berkepanjangan. Hanya mau menegaskan, bulan Ramadan coba menempa kita untuk peka, peduli, dan tanggap dengan penderitaan akan kelaparan, keterbatasan, serta penderitaan kaum tak mampu.

Maka apakah ikhtiar penempaan tersebut tak berbekas sama sekali sebegitu Lebaran tiba? Mari introspeksi, mari tetap mengendalikan diri. Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir-batin.

Thomas Utomo