Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Tasyarani Aca
Ilustrasi kue nastar. (Dok: Butter Anchor)

Usai salat Lebaran, matahari sudah bersinar sempurna di ufuk timur. Anak-anak, remaja, dan orangtua mereka akan kembali ke rumah, sebelum akhirnya berjalan lagi menuju pintu ke pintu untuk bersilaturahmi. Ketika saudara atau tetangga menyambut ramah dan mempersilakan untuk menikmati kudapan, ada sebuah menu primadona yang paling sering dan mungkin akan kita jumpai: nastar.  

“Kalau aku silahturahmi menuju sekitar lima rumah saat lebaran, bisa sampai tiga rumah yang sedia nastar,” ungkap Annisa, salah satu pencinta nastar asal Bandung, ketika ditanyai seberapa sering ia bisa menikmati nastar saat lebaran.

Kue nastar dengan tekstur lembut menyuguhkan rasa manis melalui berbagai varian isi dan topping-nya. Biasanya, isian maupun topping pada nastar menggunakan bahan-bahan untuk cemilan pada umumnya,seperti selai nanas atau stroberi, cokelat, keju, dan sebagainya. Namun, seiring berjalannya waktu, varian isi dan topping pada nastar menjadi hal yang bisa dieksplor dengan melakukan eksperimen baru.  

Kisah Awal Mula Nastar Memasuki Indonesia

Berdasarkan sejarah yang ditulis pada laman Indonesian Chef Assosiation, nastar merupakan makanan yang berasal dari Belanda. Sebutan “nastar” pun dibentuk dari bahasa Belanda, yaitu ananas atau nanas dan taartjes atau tart. Dalam bahasa Inggris, sering disebut sebagai pineapple tarts.

Pada masa kolonial, didapatkan ide resep nastar yang terinspirasi dari kudapan pie berisi blueberry, stroberi, atau apel. Namun, bahan-bahan isian tersebut sulit didapatkan di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai jenis berries diganti dengan nanas sebagai jenis buah-buahan yang mudah ditemukan di negara tropis. Selain itu, rasa nanas yang manis, ada asamnya, dan segar dianggap memiliki karakteristik yang mirip dengan berries

Awalnya, kue nastar bersifat eksklusif karena dibuat untuk kalangan priyayi dan hanya disajikan ketika hari raya. Namun, ketika resepnya semakin tersebar di masyarakat, cemilan itu pun mulai bisa dinikmati oleh siapa pun. Di sisi lain, penyajian nastar pada saat hari raya bertahan hingga saat ini. 

Nyatanya Lebaran bukan satu-satunya hari raya dengan nastar sebagai kudapan khasnya. Kue yang lumer dengan isian manis itu juga disajikan pada saat hari raya Natal atau Imlek. Dalam budaya Tionghoa, nastar disebut ong lai atau pir emas yang bermakna kemakmuran. 

Sering Disalahpahami sebagai Kue Kering

Beberapa orang masih menganggap bahwa nastar termasuk dalam kategori kue kering. Dengan penyajian nastar yang kerap didampingi oleh berbagai macam kue kering lainnya, seperti kastengel dan putri salju, maka tak heran jika nastar pun ikutan disebut-sebut sebagai kue kering. Padahal, ada aspek yang perlu dipertimbangkan jika ingin memasukkan nastar ke dalam kategori kue kering.

Yongki Gunawan, seorang chef sekaligus pakar pastry melalui laman Indonesian Chef Assosiation mengatakan, nastar bukanlah kue kering karena teksturnya yang tidak garing dan renyah sebagaimana kue kering. Tekstur yang dimiliki nastar lebih lembut dan lembap, membuatnya termasuk ke dalam kategori cake.

Terlepas dari kesalahpahaman tersebut, nastar mungkin akan tetap dikenal sebagai salah satu kue kering primadona khas Lebaran. Kini, dengan usainya hari raya penuh silaturahmi itu, nastar akan menjadi salah satu kudapan yang dirindukan pencintanya.

“Hal yang paling dirindukan dari nastar selain rasa manisnya, juga proses pembuatan yang penuh trial and error. Momen waktu proses pembuatan nastar bareng keluarga juga jadi hal yang bikin kangen,” ucap Annisa yang sudah merindukan kehadiran nastar.

Tasyarani Aca