Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ni Made Tasyarani
Ilustrasi Dampak Perubahan Iklim. (Freepik.com/vhotomax)

Permasalahan lingkungan semakin pelik dengan berbagai pemicu yang dilakukan oleh manusia. Namun, masyarakat Indonesia yang beragam, menyikapinya dengan cara yang beragam pula. Dengan status perubahan iklim saat ini yang on-going, terdapat dua jenis kelompok masyarakat dalam menyikapinya, setidaknya berdasarkan data dari UNDP Peoples’ Climate Vote, yaitu mereka yang menganggap isu itu sebagai hal yang darurat dan perlu tindakan segera sebanyak 57 persen dan mereka yang tidak menganggap demikian.

Mereka yang menganggap isu perubahan iklim bukanlah sesuatu yang darurat dan membutuhkan tindakan segera, salah satunya adalah mereka yang lebih percaya banjir disebabkan oleh azab akibat maksiat, tanpa sedikitpun mempertimbangkan logika kerusakan alam. Konsekuensinya, pola pikir yang mengenyampingkan logika sains dalam isu perubahan iklim akan mereduksi tindakan-tindakan yang berlandaskan sains pula dalam menanggulangi isu tersebut. 

Fenomena masyarakat yang gencar mengaitkan gejala-gejalan kerusakan alam dengan hal yang tidak terbukti secara saintifik sering terjadi di Indonesia. Dalam kasus masyarakat yang menganggap banjir disebabkan oleh azab, tindakan yang mereka lakukan adalah mencegah masyarakat melakukan maksiat.

Hal itu sempat terjadi di Bekasi pada tahun 2020. Ketika banjir melanda wilayah tersebut pada awal tahun 2020, warga kemudian malah berbondong-bondong mendatangi salah satu toko yang menjual minuman beralkohol. Toko yang mereka datangi itu sudah buka 6 tahun lamanya dan sudah memiliki izin usaha. Namun, para warga menutup paksa toko itu karena anggapan toko yang menjual minuman beralkohol menimbulkan tindakan berdosa di masyarakat yang akan berujung pada azab dan kemudian menyebabkan banjir. Masalahnya, tindakan menutup paksa toko miras sama sekali tidak akan berdampak pada tujuan utama mereka, yaitu mencegah banjir.

Narasi azab penyebab banjir bahkan dilanggengkan oleh salah satu pemimpin kita.  VICE melansir, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sempat mencuit bahwa semua musibah datangnya dari Allah. Cuitan itu muncul setelah terjadinya kebakaran lahan besar di Sumatra dan Kalimantan pada September 2019 silam.

Narasi yang ia publikasikan itu merupakan salah satu hal yang dapat menunjukkan bahwa meyakini azab sebagai penyebab dari musibah sudah menjadi tradisi di Indonesia. Terlebih lagi, dengan munculnya pernyataan tentang penyebab perubahan iklim tanpa menyebutkan faktor lingkungannya itu yang muncul dari seorang Moeldoko sebagai salah satu opinion leader, membuat tradisi tersebut akan semakin mengakar di masyarakat. 

Bukan hanya pemimpin, bahkan banyak media yang berpotensi untuk melanggengkan pola pikir yang tidak berdasarkan sains tersebut dalam meng-cover peristiwa bencana alam. Padahal, media memiliki peran besar dalam memengaruhi khalayaknya.

Misalnya saja, berita mengenai prediksi atau ramalan bencana alam yang akan terjadi di tahun selanjutnya merebak di internet dan beberapanya datang dari media mainstream Indonesia. Salah satu dari sekian berita semacamnya yang diposting di internet adalah berita pada akhir tahun 2021 kemarin oleh salah satu media nasional, berjudul “Ngeri, Ini 9 Ramalan Anak Indigo Tentang Indonesia Tahun 2022”. Ada sensasi yang terkandung dalam berita itu, tetapi nihil bahasan logis mengenai bagaimana bencana alam tersebut bisa terjadi. Alih-alih menjelaskan secara saintifik penyebabnya atau mengaitkannya dengan isu perubahan iklim, pemberitaan semacam itu tidak menggunakan momentumnya untuk mengedukasi masyarakat.

Merupakan salah satu pekerjaan rumah terbesar jurnalis Indonesia saat ini untuk memberikan pemberitaan yang edukatif secara saintifik, tetapi tetap bisa dipahami oleh khalayak awam untuk membangun logika masyarakat. Dengan mengandalkan logika bagaimana lingkungan perlahan semakin mengalami kerusakan, tindakan-tindakan ramah lingkungan pun dapat semakin terstimulasi. Jurnalis perlu mulai mencerahkan para antisains dalam menyikapi perubahan iklim, salah satunya melalui jurnalisme sains.

Pada prinsipnya, jurnalisme sains mengemas sebuah berita atau informasi berlandaskan sains dengan menggunakan temuan-temuan ilmiah yang ada. Jurnalisme sains memungkinkan jurnalis, ilmuwan, maupun masyarakat untuk berkolaborasi dalam menyajikan laporan yang berbasis sains, tetapi tetap “membumi” secara bahasa.

Dalam sebuah webinar mengenai perubahan iklim dan jurnalisme sains, Meiki Weinly Paendong selaku Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat menjelaskan, “Mau tidak mau, konteks penyampaian informasi, sosialisasi, dan edukasi terkait perubahan iklim harus gencar dilakukan tanpa hanya menunggu momentum, tetapi secara konsisten. Misalnya, melalui jurnalisme yang merujuk pada temuan-temuan ilmiah dan agar akurat harus berbasis science, sehingga apa yang disampaikan memiliki landasan,”

Terkait dengan penjelasan tersebut, maka dalam jurnalisme sains, seorang jurnalis harus mampu menerjemahkan berbagai temuan ilmiah kepada khalayak awam. “Ada kebutuhan jurnalisme yang harus menjadi kepanjangan tangan dalam menginformasikan hasil-hasil temuan terkait perubahan iklim atau lingkungan,” tegas Meiki. 

Jika para jurnalis di setiap media di Indonesia memiliki pemasaham sains terkait perubahan iklim yang baik, maka niscaya produk jurnalistiknya pun akan semakin berkualitas dan masyarakat akan dibombardir bukannya oleh berita-berita penuh sensasi, tetapi mampu membangun logika mereka. 

Ni Made Tasyarani