Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ni Made Tasyarani
Ilustrasi guru yang sedang mengajar (Freepik)

Kita tentu familiar dengan ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kita pun sering menggambarkan seorang guru sebagai sosok yang mengabdi tanpa pamrih demi kemajuan pendidikan negeri.

Guru adalah pekerjaan orang-orang berhati mulia, mengajar tanpa lelah, dan tanpa mengharapkan imbalan. Sejak kecil, kita dibiasakan dengan penggambaran sosok guru seperti itu yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah, tetapi berpotensi untuk membuat kita menormalisasi pemberian gaji minim kepada para guru, terutama guru honorer.

Faktanya, ada banyak guru honorer yang sudah bertahun-tahun tidak berkesempatan untuk menjadi guru tetap. Hal itu pun membuat mereka terjebak dalam siklus pekerjaan dengan gaji seadanya.

BACA JUGA: 'Gajinya Kecil', Guru Ini Langsung Kena Mental Dinyanyikan Lagu Viral oleh Muridnya

Di pelosok negri, gaji guru honorer bisa hanya mencapai angka puluhan hingga ratusan ribu. Di kota pun, para guru honorer banyak yang masih digaji pas-pasan. Saking pas-pasan gaji yang diterima, banyak dari guru honorer yang kemudian mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika dicari beritanya, ada banyak kisah guru-guru honorer dengan gaji yang tidak sepenuhnya bisa menopang hidup mereka. Fenomena ini sudah terjadi selama bertahun-tahun, tetapi entah kenapa minim perhatian.

Padahal, salah satu kunci dari keberhasilan pendidikan ada pada gurunya. Jika sang pengajar tidak sejahtera, bagaimana bisa mereka memberikan usaha maksimal untuk anak-anak yang mereka didik?

Permasalahannya mungkin terletak pada bagaimana kita memaknai pengabdian guru honorer selama ini, dengan menjadikan pengabdian sebagai suatu kegiatan yang tidak harus dibayar mahal. Padahal, beban kerja guru honorer dengan guru tetap kebanyakan sama.

Namun, kita terlalu mengaitkan apapun yang dilakukan oleh seorang guru honorer sebagai kegiatan mengabdi atau seperti sukarelawan. Anggapan itu pun juga dibawa oleh para guru honorer, sehingga barangkali membuat mereka enggan protes.

Meskipun sebenarnya sudah pernah terjadi protes oleh para guru honorer, tapi hanya dari mereka yang benar-benar sudah resah. Itupun masih minim dari perhatian media dan publik. 

Di negara demokrasi ini, menyalurkan aspirasi dengan angkat suara menjadi salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mendorong suatu kebijakan baru.

Meskipun tidak datang dengan kepastian 100% akan berdampak dalam jangka waktu singkat, tetapi berkumpul dan bersuara dapat membentuk urgensi dan mulai dikenalnya suatu isu oleh publik. Dalam konteks ini, isu kesejahteraan guru honorer.

Topik menyejahterakan guru dapat bersama-sama diperjuangkan dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) misalnya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu tersebut.

BACA JUGA: Guru: Pahlawan Garda Terdepan Dunia Pendidikan, Berada Paling Belakang soal Kesejahteraan

Salah satu gerakan guru honorer yang mulai berlangsung saat ini adalah gerakan dari pimpinan honorer mengusir PPPK guru swasta dari sekolah negeri.

PPPK yang merupakan singkatan dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja memungkinkan guru honorer untuk diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan standar gaji yang telah ditentukan.

Pemberian kesempatan mengikuti program PPPK bagi guru swasta dianggap akan mengurangi kesempatan guru negeri, sehingga terbentuklah gerakan protes tersebut. Dengan adanya gerakan itulah, masyarakat atau pemerintah bisa mengetahui keresahan yang ada.

Munculnya keberanian guru honorer tersebut untuk bergerak bersama bisa menjadi hal yang berarti. Akan tetapi, suatu gerakan yang efektif memerlukan perhatian yang besar dari publik, sehingga potensi untuk ditindaklanjuti juga semakin besar.

Selain itu, pihak yang disasar juga harus tepat kepada mereka yang memiliki kewenangan. Berdasarkan kedua aspek tersebut, gerakan guru honorer harus dilakukan dengan semakin masif. Harus lebih banyak yang sadar akan nasib mereka, lebih banyak yang berani, termasuk lebih banyak yang mau memberikan atensi.  

Ke depannya, advokasi untuk mensejahterakan guru perlu untuk secara konsisten dilakukan. Gerakan itupun harus terjadi secara merata, menjangkau ke berbagai pelosok negri ini.

Perlu ada ruang di mana para guru honorer dapat menyampaikan keresahannya dan kelompok yang dapat memfasilitasi keresahan tersebut. Dengan begitu, stigma tentang guru yang boleh digaji minim bisa sedikit demi sedikit diatasi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ni Made Tasyarani