Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Fatkhur Rokhman
Ilustrasi Depresi (Pexels/MART PRODUCTION)

Kebanyakan orang mengatakan bahwa diam adalah emas. Sikap diam merupakan jalan satu-satunya jalan agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan kata mereka. Namun belakangan ini kebebasan berpendapat mulai menjadi topik teratas dalam ranah hiburan, politik, dan sosial kita. Terlepas dari asal tren kebebasan berpendapat yang muncul dari suatu konflik politik tertentu, rasanya untuk tetap menyuarakan ketidak setujuan terhadap pihak tertentu yang dirasa tidak sejalan menjadi semakin kencang.

Jauh sebelum sekarang masyarakat selalu memikirkan apa yang akan terjadi ketika mereka membuka mulutnya. Bukannya saya mempermasalahkan atau tidak setuju mengenai kebebasan berpendapat ataupun masalah speak up seseorang terhadap suatu isu atau permasalahan tertentu baik berhubungan dengan pribadi ataupun umum. Kita tentunya ingat mengenai peribahasa “Mulutmu adalah harimaumu” yang sudah sangat akrab sekali di telinga kita seperti akrabnya kita dengan dia tapi gak jadian. 

Telinga kita sangat akrab dengan peribahasa tersebut, namun kerab kali kebebasan berpendapat disalah artikan oleh banyak lapisan masyarakat. Bahkan bagi yang berpendidikan tinggi pun tidak luput dari salah tangkap terhadap arti dari kebebasan berpendapat. Bisa diambil contoh dengan apa yang terjadi ketika para mahasiswa turun menyuarakan pendapatnya, kita tentunya tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ada baku hantam antara kawan-kawan mahasiswa dan kepolisian yang sedang mengawal demonstrasi, terlepas dari adanya penyusup yang menyulut api di tengah-tengah kawan mahasiswa tetap saja hal tersebut menghilangkan niat baik mereka dalam menyuarakan pendapat. Saya tidak memiliki masalah dengan kebebasan berpendapat hanya saja beberapa penerapannya dalam hal ini malah melukai tubuh dari kemuliaan kebebasan berpendapat.

Lebih parah lagi terjadi bukan di dunia nyata, sebelum itu hal yang saya maksud bukan dunia ghoib asal tahu saja, namun yang saya maksud adalah sosial media yang kerap kali menjadi ajang bagi orang-orang yang bingung akan eksistensinya di dunia nyata yang kemudian mencari pelarian di dunia maya, kita sebut saja netizen yang serba tahu. Sifat serba tahu mereka tak jarang juga menjadi bomerang ketika mereka memberlakukan pasal kebebasan berpendapat. Seperti dikutip dari CNN Indonesia diberitakan bahwa menurut riset netizen Indonesia adalah yang paling tidak sopan se-Asia tenggara. Ini salah bisa dijadikan bukti bahwa banyak diantara kita yang tidak secara sadar mengerti arti dari kebebasan berpendapat yang sebenarnya. Kebebasan bukan berarti bertindak sesuka hati yang berarti bebas absolut, tetap saja kebebasan pada akhirnya akan bertemu dengan norma dan etika yang berlaku di daerah tertentu. Dengan demikian kebebasan pada akhirnya memiliki batasa-batasan tertentu sehingga tak terjadi tindakan saling memotong atau mengebiri kebebasan orang lain secara paksa. Tapi biarpun belum ada yang mengerti arti bahwa kebebasan itu memiliki batasan, yang namanya main hakim sendiri di media sosial dengan menyudutkan seorang individu tanpa ada niatan untuk menyaring perkataan lebih dahulu itu namanya menghina.

Perlu diketahui menghina dan berpendapat sangatlah berbeda, mereka secara prinsip sama-sama mengeluarkan opini atau pemikiran mengenai suatu hal dalam pikiran mereka, namun perbedaannya adalah terdapat dari sifatnya. Mungkin akan lebih mudah dipahami jika kita pakai saja istilah kritikan. Kritikan membangun memiliki sifat positif dimana meskipun itu kritik yang menohok di hati, namun karena sifatnya positif akan ada peluang bagi yang dikritisi untuk memperbaiki diri. Sedangkan kritik menjatuhkan cenderung memiliki sifat negatif meskipun niatnya ingin menasihati seseorang, namun karena sudah sifatnya negatif hampir tidak ada peluang bagi individu yang dikritisi untuk berubah ke arah yang lebih baik dan dalam hal ini kita sering menyebutnya dengan nyinyir. Saya rasa penjelasan tersebut bisa dipahami oleh banyak orang, kalau pun belum bisa apa yang saya sebut bersifat positif atau negatif diatas adalah dari bahasanya. 

Bebas beropini atau berpendapat memang menyenangkan karena dapat mencurahkan isi  pikiran kita seperti yang saya lakukan sekarang ini dalam tulisan ini, namun dalam perjalanannya perlu kaidah-kaidah yang tertentu sehingga layak disebut sebagai oponi yang sehat. Seperti ketika berada di lingkungan pendidikan, opini atau pendapat tersebut keluar dari seorang akademisi haruslah memenuhi kaidah-kaidah akademik, dimana selain masuk akal opini atau pendapat tersebut dapat dipertanggung jawabkan.

Kebebasan berpendapat menempatkan kita sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewenangan untuk bebas berpendapat, menyuarakan opini dan pendapat kita di muka umum. Namun seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa beropini atau berpendapat itu memerlukan kaidah-kaidah yang sesuai dengan norma yang berlaku, di dalam suatu masyarakat tertentu sehingga apa yang dikeluarkan tidak berdampak buruk bagi kita maupun bagi orang lain. Kembali lagi tindak perilaku mengolok-olok, mencibir, nyinyir atau menjatuhkan orang lain secara verbal merupakan suatu kejahatan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membunuh karakter seseorang. Perilaku nyinyir bukanlah kebebasan berpendapat, pendapat dan opini yang sehat yang keluar dari pemikiran kitalah bentuk dari kebebasan berpendapat. 

Fatkhur Rokhman