Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Muhammad Fatkhur Rokhman
Ilustrasi pelecehan seksual (Pexels.com/Ilustrasi Pelecehan Seksual)

Wanita, sebuah gender yang berlawanan dengan laki-laki, bahkan bisa dibilang berbeda secara fisik. Beberapa orang pasti setuju bahwa wanita atau kita ganti penyebutannya dengan “perempuan”, sering kali dibedakan dengan laki-laki dikarenakan fisiknya. Perspektif yang masih menempel pada diri perempuan adalah lemah lembutnya, karena hal itu wanita wajib untuk dilindungi keberadaannya. Berbeda dengan perpsektif yang menempel pada laki-laki yang dianggap sebagai individu yang kuat secara fisik, karenanya laki-laki dianggap bisa ataudipercaya bisa menyelesaikan pekerjaannya sendiri. 

Wanita dalam benak setiap laki-laki bahwa mereka lemah lembut seringkali membuat ruang gerak mereka sangat terbatas. Tidak hanya dikehidupan sehari-hari saja, seperi dalam hal berekspresi, pendidikan, dunia kerja, bahkan diruang-ruang kecil seperti keluarga. Ada istilah jawa yang mengatakan perempuan itu “kanca wingking” yang artinya tempatnya di dapur.  Tapi seperti yang kita tahu leluhur kita adalah orang-orang yang luhur dan mengerti tentang filosofi, bahkan dalam setiap sisi tradisi yang mereka ciptakan yang masih ada sampai sekarang pun mengandung sisi filosofi yang mendalam. Jadi hampir tidak mungkin leluhur kita menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan.

“Kanca wingking” memiliki maksud bahwa dalam hal ini ketika sudah menikah mereka adalah sosok teman hidup yang bisa mendukung orang lain dari balik layar. Ini seperti ungkapan yang akrab ditelinga kita yang berbunyi “dibalik kesuksesan seorang pria, ada wanita hebat dibelakangnya”. Tidak ada indikasi yang buruk bahwa wanita hanya boleh berada dan ada dibelakang atau di dapur, melainkan sebuah penghargaan atas usaha mereka dalam mendukung dari belakang laki-lakinya.

Bahkan baru-baru ini kita tahu fakta bahwa perempuan/seorang ibu menyumbang kecerdasannya kepada keturunannya. Jadi kita semakin yakin bahwa setiap generasi jenius tidak terlepas dari DNA atau warisan kecerdasan dari ibunya.

Tapi yang masih menjadi masalah adalah ketika terjadi sebuah tindak pelecehan terhadap mereka, bahwa perempuan masih menjadi objek kesenangan. Ini mengindikasikan bahwa kesetaraan gender semestinya buan hanya tentang status sosial dalam masyarakat saja, melainkan juga sebagai manusia. Pelaku pelecehan tentu secara tidak sadar ketika sedang tidak sedang memanusiakan.

Para pelaku jelas tidak memanusiakan orang yang mereka lecehkan, karena jika mereka memang sedang memanusiakan manusia yang lain maka sudah menjadi barang tentu mereka tidak akan melakukan tindak pelecehan tersebut. Dan tindak pelaku pelecehan tersebut secara umum menganggap setidaknya mereka lebih berkuasa sehingga mereka merasa tindak pelecehan yang mereka lakukan tidak akan berbalas atau tidak akan berdampak pada mereka. Inilah yang menjadi alasan kenapa tindak pelaku pelecehan kebanyakan adalah laki-laki.

BACA JUGA: Pentingnya Memvalidasi Diri Sendiri dan Mengelola Emosi bagi Mahasiswa

Laki-laki kembali lagi memegang banyak peranan penting di banyak sektor kehidupan dan di balik itu mereka memiliki fisik yang lebih kuat, karena itulah peluang mereka untuk berlaku merendahkan terhadap gender yang berlawanan dari mereka yaitu perempuan terbuka sangat lebar. Bahkan tidak jarang tindak perilaku pelecehan juga terdapat indikasi kekerasan secara fisik dalam rangka memberikan dominasi kekuatan terhadap korbannya.

Dominasi kekuaan disini juga berarti kedudukan atau pangkat yang lebih tinggi, sehingga mereka bisa dengan kekuasaan atau kedudukannya mengintimidasi yang berada dibawahnya untuk mematuhi segala yang mereka perintahkan. Seperti dilansir dari Suara.com mengenai kasus modus staycation untuk perpanjangan kontrak. Modus tersebut tentu saja tidak akan terjadi jika tersangka dugaan pelecehan seksual tersebut tidak memliki jabatan. Jabatan dilain hal merupakan tanah yang subur untuk banyak kesempatan dan potensi untuk dimanfaatkan tergantung mau dimanfaatkan untuk kebaikan atau keburukan. 

Pelecehan seksual semacam itu bisa masuk kedalam kategori dari power of abuse (penyalahgunanan kekuasaan). Penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan tidak hanya terbatas pada bullying di tempat kerja, malahan pelecehan seksual dengan modus staycation untuk perpanjangan kontrak pun juga termasuk.

Kasus pelecehan serupa yaitu penyalahgunaan jabatan dalam hal ini seorang dosen di Bali yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi. Latar belakang kejadian tersebut lantaran sang dosen melihat story Whatsapp korban yang ternyata isinya curhatan tentang permasalah keluarga dan kampus yang bersangkutan dengan pebuatan skripsi. Dengan memanfaatkan hal tersebut, tersangka mengundangnya untuk datang ke kosannya dan melancarkan aksinya di sana. 

Kebanyakan korban pelecehan memang pada dasarnya adalah wanita, tapi akhir-akhir ini muncul juga beberapa kasus dimana laki-laki juga mengalami hal serupa. Seperti yang terbaru viral di media sosial dimana ada seorang guru ngaji yang melakukan pelecehan seksual terhadap para santriwan dengan modus diajari untuk shalat tahajjud lalu disodomi.

Melansir dari Detik.com, bahwa awalnya ajakan tahajjud tersebut adalah untuk diajarai di rumahnya dan berujung pada minta pijat. Perlu diketahui jumlah dari korban pun tidaklah sedikit, kesemuanya ada 13 anak dengan kisaran umur dari 19-22 tahun. Dan tindakan tersebut telah berlansung cukup lama dari tahun 2017 sampai pada tahun 2023.

Pelecehan seksual ini terang-terang sudah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan, bukan hanya anak perempuan saja yang harus dijaga dan diberikan sex education dengan benar agar bisa menjaga dirinya.Ternyata anak laki-laki pun juga harus dibekali hal yang sama bahwa mereka bisa saja menjadi korban pelecehan seksual dan segeralah melapor. Sebab mau bagaimana pun pelecehan seksual tetaplah salah. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Muhammad Fatkhur Rokhman