Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Kondisi jalan poros desa Todang-Todang yang dikeluhkan warga. (Dok.pribadi/@budiprathama)

Membangun Indonesia dari desa, tampaknya ini masih jauh bagi Desa Todang-Todang, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pasalnya, infrastruktur jalan masih menjadi polemik dan nampak seperti jalan yang jarang dilewati. 

Bicara soal desa tentu amat banyak potensinya yang dapat dikembangkan, termasuk sumber daya alam yang dimiliki setiap desa. Pengembangan desa bisa dikenal sebagai desa wisata, desa budaya, desa penghasil pandai besi, dan penamaan desa lainnya sesuai dengan potensi yang dimiliki. 

Termasuk Desa Todang-Todang yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani, peternak, dan pembuat gula merah. Tetapi, mungkin tidak keliru amat kalau Desa Todang-Todang memang dikenal sebagai desa penghasil gula merah yang ada di kabupaten Polewali Mandar. Bahkan, gula merah Desa Todang-Todang memang menjadi unggulan dan dikenal banyak orang. 

Namun, dibalik potensi itu, ternyata Desa Todang-Todang mempunyai segudang masalah, bukan hanya soal struktur pejabat pemerintah desa hanya diisi keluarga dan orang-orang kepala desa, tetapi masalah pembangunan jalan yang selalu menjadi keresahan masyarakat. 

Setelah beralihnya jabatan kepala desa, dari Bapak Basri ke Bapak Moser. Pembangunan jalan hanya secuil saja, hanya bisa membuat jalan rabat beton beberapa ratus meter saja. Itupun masih sedikit yang tampak. 

Keluhan yang terdengar di masyarakat terkait dengan jalan poros Desa Todang-Todang, nampak seperti sungai kering. Kondisi lubang jalan dan bebatuan sangat membahayakan para pengendara. 

Padahal, jalan poros tersebut tiap hari dilewati anak sekolah, para pedagang di Desa Todang-Todang, dan para pengendara lainnya. Bukan hanya warga Desa Todang-Todang mengeluhkan jalan itu, warga lain yang ketika melewati jalan tersebut juga geleng-geleng kepala. 

Sebelum pergantian kepala desa, ada wacana bahwa jalan poros Desa Todang-Todang akan diaspal, tetapi setelah pergantian kepala desa wacana itu pun kini hanyalah penantian. Bukan berarti saya membandingkan kedua kepala desa itu. Tetapi perlu disadari bahwa itu memang fakta yang terjadi. 

Namun yang jelas, setiap kepala desa pasti memiliki karakteristik masing-masing untuk memajukan desanya. Bahkan gaya kepemimpinan seorang kepala desa pun mungkin akan berbeda-beda. 

Problem demikian, bukan berarti pembangunan jalan hanyalah tugas kepala desa seorang saja, melainkan tugas bersama, termasuk pemerintah desa sampai kepada pemerintah kabupaten. Akan tetapi, hal yang tak bisa dielakkan bahwa kemajuan suatu desa sangat dilirik oleh kepala desanya. Begitupun saat ada malapetaka juga yang dilihat pertama kepala desanya, termasuk nasib jalan poros Desa Todang-Todang yang sedang di ujung tanduk. 

Harapan masyarakat bahwa pembangunan jalan poros Desa Todang-Todang segera dicarikan solusi, mengingat problem itu sudah lama dirasakan masyarakat setempat. Selanjutnya, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mesti diberangus di setiap desa, pihak berwenang mesti bisa bertindak tegas dan mestinya selalu berpihak kepada masyarakat. Budaya kongkalikong tidak relevan lagi untuk kemajuan desa, terlebih kemajuan bangsa Indonesia. 

Budi Prathama