Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Foto guru-guru SD bersama Plt Kepala Sekolah (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Belakangan, kian banyak sekolah yang tidak memiliki kepala sekolah definitif, baik di tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA/ SMK.

Ambil contoh di Jawa Tengah. Merujuk data PGRI Jawa Tengah (dilansir majalah Derap Guru edisi Februari 2022), di Kabupaten Brebes, 399 sekolah tidak memiliki kepala sekolah definitif. Hanya ada Plt. Kepala Sekolah. Artinya, ada satu kepala sekolah yang mencabang, mengampu dua atau tiga sekolah berbeda.

Demikian pula di Kabupaten Banyumas, ada 142 sekolah kosong kepala sekolahnya. Di Kabupaten Rembang, ada 94 SD dan SMP tidak punya kepala sekolah. Di Kabupaten Banjarnegara, 57 SD, lima SMP, dan satu SMK tidak memiliki kepala sekolah. 

Ketiadaan kepala sekolah memang tidak bakal menghentikan seluruh kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Tanpa kepala sekolah aktivitas pembelajaran tetap dapat berjalan terus.

Namun ibarat kapal, kepala sekolah adalah nakhkoda. Tanpa adanya nakhkoda, laju kapal akan terhambat. Kalaupun tetap dapat melaju, efektivitasnya akan berbeda dengan kapal yang memiliki nakhkoda.

Kosongnya kursi kepala sekolah, utamanya di jenjang SD, menurut penelitian PGRI Jawa Tengah, disebabkan rendahnya motivasi guru untuk menjadi kepala sekolah. Rendahnya motivasi ini muncul karena tunjangan kepala sekolah dinilai tidak sepadan dengan beratnya beban kerja dan tanggung jawab yang harus dipikul.

Ada pula persoalan beban sosial. Jamak diketahui, dengan memandang jabatan, kerap kali kepala sekolah seolah-olah 'diwajibkan' mengeluarkan uang lebih banyak saat memenuhi undangan resepsi, kondangan, takziah, dan sebagainya. Konon, nominalnya bisa dua kali lipat, bahkan lebih. 

Sementara itu, di akhir tahun 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Dalam peraturan menteri tersebut, dinyatakan, salah satu syarat seorang guru dapat diangkat menjadi kepala sekolah adalah memiliki sertifikat guru penggerak. 

Sertifikat guru penggerak diperoleh setelah guru mengikuti pendidikan calon guru penggerak hingga dinyatakan lulus.

Persoalannya, seiring pensiun atau habisnya masa jabatan kepala sekolah yang berarti makin meningkatnya jumlah ketiadaan kepala sekolah definitif, tidak dibarengi pembukaan pendidikan calon guru penggerak yang memadai. 

Di Kabupaten Purbalingga, misalnya. Kekosongan kepala sekolah sudah mengemuka sekurang-kurangnya sejak tahun 2020. Namun, pembukaan pendidikan calon guru penggerak untuk Kabupaten Purbalingga baru dimulai sejak angkatan 6 tahun 2022 ini. 

Rata-rata waktu tempuh pendidikan calon guru penggerak adalah enam bulan. Dengan demikian, rentang kekosongan kepala sekolah akan semakin lama. 

Akibat buruknya, amanat mencerdaskan kehidupan bangsa (sebagaimana tertulis dalam konstitusi), akan terhambat dengan kekosongan pucuk pimpinan sekolah atau hanya mengandalkan Plt yang kewenangannya terbatas. Lalu apa yang mesti dilakukan?

Thomas Utomo