Artikel ini mencoba menjelaskan bagaimana pola pikir kita terbentuk, dan bagaimana menyikapi penderitaan yang dialami dari sebab buah pikir kita sendiri. Mencoba menjelaskan bagaimana terbentuknya buah pikir yang objektif dan rasional sehingga mendapatkan pola pikir baru yang lebih baik tanpa dipengaruhi dari faktor dalam diri kita dan dari lingkungan sekitar kita.
Manusia
Manusia merupakan makhluk dominan yang ada di muka bumi ini, dengan berbagai kemampuan yang dimiliki manusia tidak dapat disamakan dengan makhluk hidup lain. Manusia memiliki kesempurnaan dan dapat membuahkan suatu karya yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk hidup lainnya. Pemikiran dan perasaan yang dimiliki manusia mampu menumbuhkan suatu peralatan, budaya, serta bahasa yang rumit dari buah pikirannya yang komplek tersebut. Buah karyanya telah mengubah wajah dunia, semua menjadi mungkin dengan kemampuan bekerja sama dan berbijak pada suatu prinsip-prinsip yang rasional. Dari filsafat dan ilmu pengetahuan manusia dapat dipahami merupakan suatu makhluk yang memiliki akal dan budi. Dengan kepemilikan tersebut manusia dapat bekerja sama, serta mewujudkan keinginan di hidupnya menjadi nyata. Di samping memiliki akal budi, manusia juga dibekali dengan “perasaan” yang disebut juga sebagai makhluk emosional. Dengan perasaan manusia mampu menciptakan suatu cinta kasih kepada sesama, makhluk hidup lain, bahkan benda mati lainnya (Reza A.A Wattimena, 2016).
Namun, manusia juga memiliki begitu banyak penderitaan dalam menjalani hidupnya. Penderitaan ini begitu kompleks yang diantaranya dikarenakan oleh faktor dari ekonomi, kesehatan, hubungan sosial, ataupun hubungan privat seorang pria dengan wanita. Banyak ahli baik dari ahli spiritual kerohanian dan ahli-ahli di bidang pengetahuan lainnya menyebutkan bahwa penderitaan yang dialami manusia berakar pada buah pikirannya sendiri. Dari sini dapat kita pahami bahwa, keistimewaan yang dimiliki manusia dalam bentuk pikiran dan perasaannya merupakan faktor utama dari penentu kebahagiaan ataupun penderitaan dalam kehidupan manusia. Dengan ini, tentunya kita perlu memiliki daya (pengetahuan) untuk dapat mengerti dan menyadari sehingga kita dapat menyikapi dengan baik dari setiap proses dan perjalanan kita sebagai manusia di muka bumi ini.
Issue
Melihat dari pola perilaku muda-mudi generasi sekarang, terlalu menginginkan keterlihatan “eksistensi” di berbagai ruang sosial. Seperti dapat kita lihat dimana muda-mudi ini menampilkan hingar bingar kehidupannya di media sosial seperti outfit, lingkungan pergaulan, atau kendaraan yang dimilikinya. Efek dari ketidakmampuan mengikuti “trend” tersebut menjadikan sikap seorang individu merasa malu, tidak percaya diri, takut, khawatir, ataupun gelisah.
Jika dilihat dari kacamata ilmu sosiologi, efek tersebut timbul pada kalangan kelas sosial menengah bawah yang ingin mencoba meniru apa yang kalangan kelas sosial atas lakukan. Tentunya keinginan tersebut tidak dapat disalahkan karena manusia dalam pengertian “Makhluk Individu” pada dasarnya memiliki suatu sikap alamiahnya yang ingin menunjukan suatu keterlihatan, pencapaian, dan lainnya di dalam diri seorang individu tersebut. Tren (trend) sendiri pada dasarnya dapat kita pahami secara umum jika dikaitkan dengan ekonomi pasar; merupakan aktivitas yang dibuat untuk tujuan menunjang, memamerkan, atau mendistribusikan suatu produk baru agar produk tersebut dapat berlaku di pasaran dan menumbuhkan tingkat penjualan dari suatu produk. Dengan kata lain tren ini ada yang membuatnya dan terus di kembangkan dalam berbagai pembicaraan atau apapun sehingga senantiasa diperhatikan, dikenakan, atau dimanfaatkan oleh banyak masyarakat tertentu.
Ketidaksadaran akan hal tersebut menjadikan seorang manusia mengalami penderitaan, yang tanpa disadari telah merasuk kedalam diri manusia menjadikan sikap yang buruk bahkan dapat membuahkan suatu bentuk kriminalitas, rasa benci, dan lain sebagainya.
Pikiran
Pikiran manusia begitu kompleks dan berbentuk abstrak, buah dari pikiran manusia yaitu perkataan dan perbuatannya. Menurut ilmu psikologi, Pikiran memberikan suatu kekuatan untuk membentuk perkataan, buah dari perkataan itu akan melahirkan suatu tindakan, tindakan tersebut menjadikan suatu kebiasaan, dan kebiasaan ini yang akan menjadi ciri dari karakteristik seorang individu. Dari pemahaman ini tentunya peran pikiran kita sangatlah penting, karena menjadi dasar pembentukan karakter kita.
Pikiran ini terbentuk dari berbagai faktor seperti; lingkungan sekitar, lingkungan keluarga, budaya, pendidikan, serta lainnya. Dalam artikel yang berjudul proses pembentukan pola pikir yang dimuat dalam qubisa.com Carol S. Dweck, Ph.D, menyatakan pembentukan pemikiran dari seorang individu didasari oleh tiga komponen yaitu paradigma, keyakinan dasar, dan nilai (value). Ketiga komponen tersebut tentunya saling berkaitan dimana paradigma membentuk suatu cara pandang seseorang dalam berbagai hal, kemudian keyakinan dasar merupakan dasar dari perilaku seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan dengan sepenuh hatinya, dan nilai (value) merupakan nilai dari kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam buku yang berjudul Tentang Manusia; Dari Pikiran, Pemahaman, Sampai Dengan Perdamaian Dunia oleh: Reza A.A Wattimena (2016) pemikiran manusia sendiri merupakan suatu yang dicirikan sebagai ketidak nyataan, sementara, dan rapuh. Pengertian ini didasari dari banyaknya penderitaan yang dialami oleh seorang individu, baik yang berbentuk kecemasan, kekhawatiran, serta penyesalan-penyesalan dari berbagai peristiwa masa lalunya. Dari dasar tersebutlah seseorang menjadi represi ini menjadikan masalah dalam diri seseorang, kemudian menumbuhkan ekspresi dimana menjadikan suatu masalah yang muncul dalam kegiatan sosial (lingkungan masyarakat). Namun kedua buah pikiran itu dapat dipecahkan dengan melakukan observasi tersendiri, yaitu dengan melakukan pengamatan dalam pikiran kita secara seksama. Dimana kita dapat mengamati perubahan pikiran kita dari satu kejadian ke kejadian lain, kita dapat melihat bagaimana emosi, perasaan, dan pikiran terbentuk kemudian berlalu. Kegiatan ini merupakan dasar kebenaran bahwa buah dari pemikiran kita merupakan suatu hal yang tidak nyata, sementara, dan rapuh. Dari sinilah rasionalitas pikiran kita akan terbentuk.
Rasional
Tentunya dengan kita mencoba memecah suatu buah pikiran yang kita miliki, kita akan dihadapkan dengan suatu kata rasional. Dalam hal ini kita akan bertemu kesulitan dan berbagai tantangan dari hasil apa yang kita peroleh selama ini. Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti kata rasional. Kata rasional sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan sebagai kegiatan menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, atau cocok dengan akal sehat. Dari pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa pikiran yang rasional membutuhkan suatu pengetahuan yang mendalam dari kepemilikan logika kita. Disini kita dihadapkan pada komponen yang saling berkaitan berupa metode, data, dan sudut pandang yang berbeda.
Menurut penelitian dari Peter Marcovici Md dan Amy Blume-Marcovici PsyD dengan judul Intuition versus Rational Thinking: Psychological Challenges in Radiology and a Potential Solution yang dimuat dalam Journal of the American College of Radiology. Cara pikir manusia bersifat sangat intuitif daripada rasional, hal ini disebabkan karena perbedaan dari pemikiran intuitif dan rasional sangatlah halus dan jarang sekali dapat kita sadari. Disebutkan dalam jurnal tersebut bahwa pengalaman dapat meningkatkan kualitas pemikiran intuitif, namun proses tersebut sangat rentan terhadap penyimpangan persepsi dan bias, yang keduanya sering tidak disadari. Lebih jauh lagi, disebutkan bahwa kita lebih banyak mengaitkan perbedaan persepsi dan bias dengan orang lain daripada diri kita sendiri, sehingga membatasi kemampuan kita untuk mengatasinya.
Dengan kata lain dari pengertian diatas, makna rasional sendiri memiliki pengertian yang teramat luas, namun dapat dipersempit dengan menggunakan tujuan dan nilai moral yang kita anut dalam memproses suatu pemikiran kita. Seperti yang dijelaskan oleh Max Weber yang mengemukakan bahwa terdapat dua jenis rasionalitas, yaitu rasionalitas tujuan dan rasionalitas nilai. Rasionalitas tujuan mengakibatkan seorang atau sekumpulan orang dalam satu tindakan berorientasi tujuan, cara mewujudkannya, dan akibat-akibatnya. Sedangkan rasionalitas nilai mempertimbangkan nilai-nilai atau berbagai etika dalam mengambil langkah untuk mencapai tujuan. Lebih jauh lagi John Dewey mengartikan rasional sebagai ide-ide yang diuraikan dalam larutan rasional lewat pembentukan implikasi mengumpulkan dan memperkuat bukti, kemudian menyampaikannya melalui kesaksian atau percobaan (Katadata.co.id).
Kesimpulan
Buah pikir manusia sangatlah kompleks, abstrak, serta banyak dipengaruhi oleh keadaan dari dalam diri maupun dari luar diri seorang individu. Distorsi kognitif (kesalahan berpikir) terjadi karena ketidakmampuan kita untuk berpikir objektif dari situasi yang sedang kita alami. Sering tanpa kita sadari, pikiran kita mencoba mencari suatu pembenaran dari situasi yang sedang melanda kita. Dengan proses pencarian data yang tidak objektif ini menjadikan buah pikiran kita menjadi semakin tidak tepat dan kemungkinan untuk menyalahkan diri sendiri semakin tinggi, sehingga kita akan semakin terpuruk dan tidak berdaya atau kebalikannya kita sangat merasa benar dan tidak mau mendengarkan sudut pandang orang lain.
Hal yang menurut saya penting dalam artikel ini adalah tentang bagaimana cara kita berfikir dan bagaimana cara kita mencoba untuk mencari, mengobservasi, serta mengevaluasi apa yang telah kita pikirkan. Kemungkinan-kemungkinan buruk serta penderitaan-penderitaan lain di dunia ini dapat ditelaah lebih dalam dengan kemampuan ilahi yang dimiliki manusia yang berbentuk abstrak yaitu pikiran kita ini. Walaupun seringkali kita terkena distorsi kognitif namun menurut saya ini wajar dalam mencari suatu jawaban dalam berbagai permasalahan yang sedang kita hadapi. Tentunya dibarengi dengan berbagai pengalaman dan juga pencarian ilmu pengetahuan yang tak pernah henti dan tidak pernah merasa puas diri, kita pasti akan dipertemukan dengan kesadaran dan mengoptimalkan kemampuan berpikir kita dalam menyikapi berbagai situasi yang terjadi di muka bumi ini.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Bajaj Skincare Keliling di Bali, Kampanyekan Kesadaran Lingkungan Lewat Gaya Hidup Berkelanjutan
-
Ketika Realita Berbicara: Hidup Ini Memang Tak Seindah Drama Korea, Dek
-
Rombak Pola Pikir Kelola Uang: Cakap Turut Berpartisipasi Dalam Pelatihan Melek Finansial
-
Intrusive Thoughts Viral di Media Sosial, Sebenarnya Apa sih Ini?
-
Ubah Pola Pikir: Rahasia Berpikir Besar dari Buku The Magic of Thinking Big
Kolom
-
Tradisi Rewang: Tumbuhkan Sikap Gotong Royong di Era Gempuran Egosentris
-
Tersesat di Dunia Maya: Literasi Digital yang Masih Jadi PR Besar
-
Tolak PPN 12% Viral di X, Apakah Seruan Praktik Frugal Living Efektif?
-
Refleksi kasus 'Sadbor': Mengapa Influencer Rentan Promosikan Judi Online?
-
Harap Bijak! Stop Menormalisasi Fenomena Pemerasan di Balik Mental Gratisan
Terkini
-
Dari Kafe hingga Mall! 4 Outfit Hangout ala Bua Nalinthip yang Mudah Ditiru
-
Review Night of the Hunted, Film Horor Netflix Penembakan di Minimarket
-
Kejutkan Penggemar, Lee Dong Hwi dan Jung Ho Yeon Konfirmasi Putus Usai 9 Tahun Pacaran
-
Novel Bungkam Suara: Memberikan Ruang bagi Individu untuk Berpendapat
-
Mengulik Lirik It's Complicated, Karya Terbaru Yesung soal Rumitnya Perasaan saat Bertemu Orang Baru