Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Wahyu Tanoto
Ilustrasi Korban KDRT (Pixabay/Anemone123 )

Tidak sedikit kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang kemudian viral di sosial media. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa korban KDRT sudah mulai berani bicara atau Speak Up.

Meskipun begitu, sebagaimana yang diketahui bahwa KDRT juga seperti fenomena gunung es, yang tampak di permukaan namun bergejolak di dasa.

Artinya, masih ada sebagian warga masyarakat atau bahkan korban KDRT enggan melaporkannya kepada pihak berwenang. Biasanya karena alasan aib keluarga mereka memilih bungkam dan mendiamkannya, atau karena ketidakberdayaannya dan bahkan ada pula yang justru sudah melaporkannya namun prosesnya berbelit dan tidak ramah korban.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sampai pada Oktober 2022, tercatat 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia. Dengan 79,5% korban adalah perempuan dan 20,5% korban laki-laki. Meskipun korban KDRT tidak selalu perempuan namun secara prosentase perempuan lebih banyak.

Dalam hal ini, bagi penulis ada beberapa hal yang menjadi penyebab korban KDRT enggan bicara.

Pertama, masih adanya stigma dan diskrimanasi. Jika berani melaporkan tindak KDRT yang dialami, justru korban akan dilabeli negatif sebagai orang yang membawa aib dan keburukan pelaku, mengingat KDRT adalah peristiwa yang melibatkan dalam lingkup rumah tangga.

Kedua, korban menerima ancaman bila melaporkan kepada pihak berwenang. Hal ini terjadi karena tidak mudah bagi korban untuk speak up jika tidak memiliki orang-orang yang dipercaya atau bahkan karena tidak memperoleh dukungan dari lingkungan terdekatnya.

BACA JUGA: Berduaan di Mobil, Foto Mikha Tambayong dan Deva Mahenra Bikin Publik Salfok: Pengantin Baru

Ketiga, pada sebagian besar kasus, biasanya korban memiliki ketergantungan ekonomi. Keadaan ini semakin membuat posisi korban rentan, yang memungkinkan pelaku semakin leluasa menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban secara ekonomi.

Oleh karenanya, dalam kasus-kasus KDRT tidak sedikit korban yang akhirnya "menyerah" karena ketidakberdayaannya. 

Meskipun Negara Indonesia telah mengesahkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan berarti kasus KDRT otomatis berhenti. Bagi penulis, di satu sisi tampaknya perlu bersyukur atas kehadiran UU tersebut karena negara telah hadir untuk melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT.

 Adapun Hak-hak korban KDRT sebagaimana yang diatur pasal 10 UU PKDRT, di antaranya:

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
  2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
  4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Pelayanan bimbingan rohani

Dalam pandangan penulis, tampaknya setiap orang memiliki kepentingan yang sama agar terhindar dari segala bentuk perilaku KDRT.

Oleh karenanya sebagai anak bangsa perlu terlibat secara interaktif menyebarluaskan isu pencegahan KDRT di tengah masyarakat.

Sebaliknya jika menjumpai kasus KDRT dapat membantu korban agar berani Speak Up, alih-alih mendampingi kasusnya. Semoga

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Wahyu Tanoto