Saat ini isu pelecehan seksual masih menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan. Biasanya, perbincangan tentang pelecehan seksual lebih banyak berfokus pada perempuan sebagai korban. Namun, laki-laki juga rentan menjadi korban pelecehan. Sebagai korban, laki-laki juga memiliki hak untuk diperhatikan, didengar, dan mendapatkan keadilan.
Pelecehan seksual terhadap laki-laki bukanlah fenomena anyar. Meskipun sering kali tidak disorot dan luput dari perhatian banyak pihak, pelecehan juga terjadi di berbagai lini kehidupan. Karena, pelecehan seksual tidak dilihat dari latar belakang status sosial.
Mereka mengalami pelecehan di tempat kerja, di institusi pendidikan dan agama, lingkungan keluarga, maupun di tempat-tempat lain yang semestinya menjadi tempat aman.
Laki-laki Korban Pelecehan
Menurut Studi Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengenai kekerasan seksual selama pandemi, menunjukkan tiga dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Jumlah responden studi disebutkan sekitar 620 laki-laki.
Sedangkan menurut lansiran IJRS dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada 2020 menunjukkan sekitar 33 persen laki-laki Indonesia pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
Studi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2017, bahkan menyebut jika anak laki-laki berusia 13-17 tahun dua kali lebih banyak mengalami kekerasan seksual daripada anak perempuan pada kelompok usia yang sama.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga mencatat fakta mencengangkan, 75 persen korban berjenis kelamin perempuan, 25 persen lainnya laki-laki. Dan 80 persen masih tergolong anak-anak.
Bersumber dari pelabelan
Kasus-kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki sering kali sulit dilaporkan. Ada stigma sosial yang melekat, yang menyebabkan banyak korban enggan melaporkan kejadian tersebut.
Ada anggapan bahwa laki-laki sebagai makhluk tangguh dan tidak mungkin menjadi korban. Selain itu, mitos yang memandang pelecehan seksual hanya hanya dialami oleh perempuan juga mempersulit laki-laki mencari bantuan.
Berbagai riset menunjukkan bahwa pelecehan seksual terhadap laki-laki memiliki dampak yang serius terhadap kesehatan mental.
Misalnya gangguan kecemasan, depresi, dan trauma yang berkepanjangan. Oleh karena itu, melibatkan laki-laki dalam upaya pencegahan, pendidikan, dan dukungan adalah langkah penting untuk mengatasi masalah ini.
Untuk mewujudkan keadilan, sistem hukum dan lembaga sosial saat ini telah membuka ruang bagi laki-laki korban pelecehan seksual untuk melaporkan kejadian tersebut tanpa takut dilabeli atau diabaikan.
Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan dan penghapusan stereotip gender juga perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat semakin aware pada isu pelecehan.
Tanggung jawab berantai
Sebagai masyarakat yang sering mengaku inklusif, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengatasi pelecehan seksual dan memastikan bahwa laki-laki korban mendapatkan pelindungan.
Kita perlu mengubah pola pikir yang membatasi dan menciptakan ruang yang aman bagi laki-laki agar berani menyuarakan pengalamannya tanpa takut atau diabaikan. Dukungan sosial yang diberikan kepada laki-laki korban juga sangat penting dalam proses "menyembuhkan" luka psikologis.
Selain itu, media juga memiliki peran yang signifikan untuk terlibat memperjuangkan kesadaran akan pelecehan seksual terhadap laki-laki.
Media sebisa mungkin melibatkan laki-laki dalam menyebarkan narasi dan merespons laporan laki-laki korban, menggambarkan keberagaman korban pelecehan seksual tanpa mengesampingkan pengalaman mereka.
Dengan menceritakan kisah-kisah ini secara terukur, media dapat membantu mengurangi stigma dan menggerakkan perubahan sosial yang lebih luas.
Sebagai catatan penutup, hemat penulis tidak boleh ada persaingan ketika memperjuangkan keadilan. Bukanlah tugas kita untuk menempatkan satu kelompok korban di atas yang lain.
Sebaliknya, kita mesti bersatu melawan pelecehan seksual, termasuk ketika laki-laki menjadi korban. Sudah waktunya untuk menggeser paradigma dan mengakui bahwa pelecehan seksual tidak mengenal jenis kelamin. Semua korban memiliki hak untuk dihormati, didengar, dan diperjuangkan.
Baca Juga
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
-
5000 Langkah dan Satu Liter Bensin, Refleksi Tentang Ketidakadilan
Artikel Terkait
-
Usai Kasus Predator Seks Guru Besar hingga Mahasiswi KKN Dihamili, Ini Dalih Kemen PPPA Gandeng UGM
-
DPR Kecam Aksi Pelecehan Terjadi di KRL: Negara Wajib Hadir
-
Marak Kasus Pelecehan, Cinta Laura Ungkap Kesedihan: Hati Aku Hancur
-
Ngaku Titisan Eyang Putri, Dukun Setubuhi Mahasiswi 7 Bulan Hingga Hamil
-
6 Fakta Dokter di Malang Diduga Lecehkan Pasien, Kini Dinonaktifkan dari RS
Kolom
-
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku
-
Refleksi Taman Siswa: Sekolah sebagai Arena Perjuangan Pendidikan Nasional
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Laba Menyusut: Suara Hati Pengusaha Indonesia
-
Mengulik Pacaran dalam Kacamata Sains dan Ilmu Budaya
Terkini
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Miliki 2 Modal Besar untuk Permalukan Arab Saudi
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Lebih Siap untuk Menjadi Juara Dibandingkan Tim Tuan Rumah!
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia U-17 akan Tambah Pemain Diaspora Baru, Benarkah?
-
Ulasan Novel Monster Minister: Romansa di Kementerian yang Tak Berujung
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan