Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Agus Siswanto
Duel seru timnas Indonesia melawan Vietnam di SEA Games 32 Kamboja (pssi.org)

Di antara negara-negara Asia Tenggara, mungkin hanya Vietnam yang paling rajin mengulas apapun yang terjadi dengan timnas Indonesia. Hal sekecil apapun pasti tidak luput dari pengamatan mereka.

Bahkan sebagian tulisan media Indonesia tidak segan-segan mengutip pernyataan yang muncul dari Vietnam. Sebut saja seperti apa yang sering ditulis oleh The Thao 247 dan Soha.vn.

Dua media massa ini paling rajin mengulas tiimnas Indonesia dari A hingga Z. hampir tidak pernah ada yang lepas dari pengamatan mereka. Bahkan tidak jarang justru mereka lebih tahu daripada kita.

Fenomena ini menjadi menarik, sebab tidak jarang tulisan-tulisan yang muncul menjadi bentuk perang urat syaraf antar kedua kubu. Seperti diketahui semua orang, ada rivalitas luar biasa antara Indonesia dengan Vietnam dalam urusan sepak bola.

Ada kesan bahwa Negeri Dinasti Nguyen itu tidak senang jika Indonesia memenangkan suatu pertandingan atau gelar. Sebaliknya mereka akan tertawa terbahak-bahak saat Indonesia mengalami kegagalan.

Tulisan-tulisan inilah yang sering memancing berbagai reaksi dari penggemar sepak bola Indonesia. Tulisan yang terkesan meremehkan dan menganggap enteng timnas Indonesia menjadi dasar untuk melakukan berbagai komentar.

Pada satu sisi mungkin saja tulisan tersebut terkesan provokatif. Media-media tersebut baik The Thao 247 atau Soha.vn menjadi alat Vietnam untuk menghancurkan mental timnas Indonesia.

Namun jika ditelisik lebih dalam, rajinnya mereka mengulas timnas Indonesia bisa jadi berkaitan dengan motif ekonomi. Sikap penggemar sepak bola Indonesia yang rata-rata sumbu pendek pasti akan merasa kebakaran jenggot dengan tulisan miring media tersebut.

Ujung-ujungnya mereka berlomba untuk membaca tulisan tersebut, dan jika mungkin membalasnya dengan komentar.

Kalau orang mengatakan urusan bahasa menjadi kendala, sekarang tidak lagi. Sebab kecanggihan teknologi akan dengan mudah mengubah bahasa media itu menjadi berbahasa Indonesia.

Motif inilah bisa jadi yang mendasari langkah mereka. Bukankan ungkapan bad news is good news ada dalam urusan pemberitaan. Atau kalau diartikan secara lebih luas, berita-berita miring dipastikan akan mengundang reaksi pihak lain.

Hal ini sudah tampak pada media-media di tanah air. Sering sekali ditemukan tulisan yang mengambil sumber dari dua media Vietnam tersebut. Hal ini berarti si penulis membuka media tersebut. Jika hal ini terjadi, entah sedikit atau banyak akan datang pemasukan ke media tersebut.

Hal ini pun dilakukan oleh media Malaysia seperti makan bola. Namun intensitasnya tidak sehebat Vietnam. Sebaliknya media-media Indonesia jarang sekali mengulik apa yang terjadi di tubuh timnas Vietnam. Maka orang-orang Vietnam dipastikan tidak akan mau membuka media-media Indonesia.

Agus Siswanto