Bagi mahasiswa tingkat akhir, berada di posisi itu bisa saja dirundung dilema dan kadang bikin susah tidur. Kekhawatiran masa depan semisal jangan sampai hanya jadi pengangguran setelah selesai mahasiswa, tuntutan keluarga, dan terlebih bosannya terus-terusan berhadapan yang namanya skripsi.
Polemiknya memang banyak saat berada di fase mahasiswa akhir, terlebih soal skripsi ini. Sering kali memang kita dengar bahwa skripsi seakan seperti Mak Lampir bagi mahasiswa. Bukan main-main memang, selain ribetnya ngerjain skripsi, sering pula dibuat puyeng oleh dosen pembimbing. Itu kerap kita temui masalah mahasiswa saat bertempur dengan kerja skripsi.
Meski begitu, seberat dan seribet apa pun skripsi, sebagai seorang mahasiswa akhir, harus bisa lalui itu. Kalau nggak, siap-siap saja akan terus menjadi donatur kampus, hingga akhirnya bisa berujung DO.
Saya yang juga pernah berada di fase itu, dan juga tahu gimana rasanya kerja skripsi. Walau sulit, tetapi jika kita punya niat dan serius mau ngerjain skripsi, tentu akan selesai juga.
Sebenarnya yang jadi persoalan bagi mahasiswa akhir, ketika ada yang bertanya tentang skripsi malah jadi alergi atau tersinggung, parahnya kalau sampai marah. Problem seperti ini memang ada, makanya saya heran kenapa ada mahasiswa akhir yang tersinggung saat ditanya tentang skripsi.
Mungkin kita pernah melihat kata-kata di media sosial, semacam ini, “Lho yang nggak tahu susahnya keja skripsi, nggak usah banyak komentar,” atau narasi yang lain lah. Yang pastinya mereka kek alergi gitu.
Kok bisa alergi ya? Menanyakan soal skripsi itu bukan berarti menghujat atau memojokkan, bukan pula sok tahu. Tapi, tujuannya hanya sekedar bertanya.
Maksud saya gini, nggak usahlah emosi kalau ada yang nanya soal skripsi. Kan bisa jawab santai saja, semisal “udah selesai”, “sementara proses”, atau yang lain. Itukan simpel aja dan nggak usah terlalu menampakkan kepusingan Anda, walau memang faktanya benar pusing.
Adanya orang yang bertanya perihal skripsi hanya sekedar mau tau aja, dan memang itu hal lumrah jika sudah berada di fase mahasiswa akhir. Jadi nggak usah alergi soal itu, bawa santai saja.
Justru ketika ada yang menanyakan itu, bisa kamu jadikan sebagai dorongan untuk bisa serius dalam ngerjain skripsi. Karena yakin saja, ketika memang serius mau kerjakan skripsi tentu akan selesai juga.
Kalau alasan ngumpulin mood dulu baru bisa kerjakan skripsi, itu sih sah-sah saja tetapi terlalu banyak juga kurangnya. Mood memang penting ketika ingin mengerjakan skripsi. Tetapi kalau terus berpatokan di situ, bisa jadi pengerjaan skripsi makin lama dan kamu akan terus menjadi donatur sejati pada kampus.
Di era sekarang ini, mau mood itu ada atau nggak, semuanya akan terus berjalan. Coba deh bayangkan, ketika kamu berfokus pada mood lalu baru mau ngerjain skripsi, betapa banyak waktu yang bisa kamu habiskan untuk ngumpulin mood itu. Dan mood itu memang banyak tantangannya.
Coba deh, setidaknya dua paragraf atau lebih dalam sehari ngerjain skripsi, itu lebih baik dari pada nunggu mood dulu. Dan memang sih ngerjain skripsi selalu ada jalan kalau mau serius mengerjakannya.
Pada saat saya ngerjain skripsi dulu, mood memang kadang mempengaruhi saya. Tetapi jika kita betul-betul serius ngerjain skripsi itu, perlahan juga akan selesai, intinya jangan nunda-nunda waktu, rutin bimbingan, dan kerjakan sedikit demi sedikit aja. Ikuti arahan dosen pembimbing.
Olehnya itu, berada di posisi mahasiswa akhir memang nggak mudah dan juga bisa dilanda tekanan batin, berbagai tuntutan bisa datang. Tetapi jangan juga dong alergi ketika ada yang nanya soal skripsi, nggak usah pula sok tersinggung. Justru dengan adanya pertanyaan itu, kamu bisa berbenah, bahwa skripsi itu harus dikerjakan bukan malah didiamkan dan terus ngumpulin mood baru mau kerja. Karena jangan sampai mood itu nggak datang-datang, kan yang jadi repot kamu juga.
Baca Juga
-
10 Cara Mengatur HP agar Bisa Melantunkan Al-Quran Semalaman Tanpa Khawatir Baterai Rusak
-
Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Perlunya Akses Pendidikan Merata
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
Artikel Terkait
-
Tertarik Kuliah Gratis S1 di Korea Selatan? Beasiswa SeoulTech Solusinya
-
Puluhan Mahasiswa Papua Aksi Bakar Ban hingga Blokade Jalan di Kemendagri, Begini Tuntutan Mereka!
-
7 Culture Shock Mahasiswa Baru di Australia, Pemburu Beasiswa Wajib Nyimak!
-
Education Day IMOS+ 2023, Pelajar Beroleh Asupan Teknologi Sepeda Motor Terkini
-
Bukan Jokowi atau Koalisi, Mahasiswa Ini Kunci Pencalonan Prabowo-Gibran?
Kolom
-
Grup 'Fantasi Sedarah', Alarm Bahaya Penyimpangan Seksual di Dunia Digital
-
Memperkuat Fondasi Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
-
Perjuangan Buruh Perempuan di Tengah Ruang Kerja Tak Setara
-
Fenomena Unpopular Opinion: Ajang Ujaran Kebencian di Balik Akun Anonim
Terkini
-
Realme Neo 7 Turbo Siap Meluncur Bulan Ini, Tampilan Lebih Fresh dan Bawa Chipset Dimensity 9400e
-
Ulasan Novel Hi Serana Adreena, Perjuangan Anak Pertama yang Penuh Air Mata
-
Realme GT 7T Segera Hadir dengan Sensor Selfie 32 MP dan Baterai Jumbo 7000 mAh
-
Garuda Calling 2025: Rizky Ridho Bertahan di Tengah Kepungan para Pemain Diaspora
-
Lukisan Raden Saleh Tampil dalam MV Jin BTS 'Don't Say You Love Me'