Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Dini Sukmaningtyas
Ilustrasi pembalut (Pexels/Sora Shimazaki)

Saat saya duduk di bangku SMA, sering ada pemeriksaan tas secara berkala oleh pihak guru atau OSIS. Setiap siswa digeledah tasnya, lalu mereka akan menyita barang-barang seperti ponsel, kosmetik, dan lain sebagainya.

Saat ada pemeriksaan tas tanpa pemberitahuan, saya dan teman-teman saya panik karena kami membawa pembalut di tas. Bukan apa-apa, kami hanya malu kalau ketahuan bawa-bawa pembalut. Pikiran polos anak SMA seperti kami menganggap pembalut sebagai sesuatu yang tabu dan memalukan.

Saat sedang dalam masa menstruasi, para perempuan biasanya terpaksa mengganti pembalut di toilet umum, misalnya toilet sekolah, kampus, atau mall.

Sejak dulu, saya sering melihat para perempuan menyembunyikan pembalut mereka di dalam saku. Bahkan, teman saya saat SMA pernah membawa tasnya ke toilet hanya demi mengganti pembalut.

Tak cukup sampai di situ saja, saat berada di dalam bilit toilet untuk mengganti pembalut, para perempuan sering kali menyalakan keran air untuk menyamarkan suara plastik pembalut yang dibuka.

Mereka bahkan merasa malu meskipun berada di dalam toilet khusus perempuan, yang mana pastilah penghuninya sudah paham soal menstruasi.

Selain mengalami "kendala" saat mengganti pembalut di toilet, banyak juga perempuan yang masih malu-malu saat membeli pembalut di warung. Beberapa orang akan menggunakan istilah pengganti, misalnya roti jepang atau yang lainnya.

Para perempuan, termasuk saya, pernah merasa malu saat membeli pembalut, dan meminta penjualnya memberi kantong plastik hitam agar pembalut yang kami beli tidak terlihat oleh orang lain.

Mengutip dari National Library of Medicine, menstruasi masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Dalam budaya India, perempuan yang sedang menstruasi dianggap kotor dan tidak suci.

Padahal, menstruasi itu normal. Penyebab terjadinya menstruasi adalah ovulasi yang diikuti dengan hilangnya kesempatan hamil yang mengakibatkan pendarahan pada pembuluh darah endometrium dan diikuti dengan persiapan siklus berikutnya.

Membeli dan membawa pembalut pun seharusnya sudah menjadi aktivitas normal dan tidak perlu dianggap tabu. Mengapa harus pakai acara sembunyi-sembunyi seolah membawa obat terlarang?

Dini Sukmaningtyas