Belakangan ini, istilah slow living cukup giat diserukan di media sosial. Sebagian besar orang ingin menerapkan gaya hidup yang lebih santai dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang serba buru-buru.
Mengutip dari The Good Trade, slow living adalah gaya hidup yang menekankan pendekatan yang lebih lambat dan penuh perhatian terhadap semua aspek kehidupan sehari-hari. Ini tentang mengidentifikasi apa yang paling dihargai dalam hidup dan mengatur waktu sesuai dengan itu.
Sebelum istilah slow living ngetren di media sosial, sejak dulu orang-orang yang mengaku orang kota memang sudah mengglorifikasi enaknya hidup di pedesaan.
Orang kota sangat mudah terkagum-kagum dengan suasana desa yang sejuk, asri, udaranya bersih, dan tidak ada kemacetan seperti di kota besar.
Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di salah satu desa di kaki gunung, saya setuju dengan sisi enak tinggal di desa tersebut. Saya bisa merasakan perbedaan tersebut ketika merantau ke ibukota provinsi.
Namun, yang tidak disadari oleh para orang kota ini adalah tidak selamanya tinggal di desa itu enak.
Contoh kecilnya adalah akses internet dan hiburan tentu tidak bisa semudah itu didapatkan. Di desa saya, akses internet cepat masih menjadi fasilitas yang sulit didapatkan.
Selain itu, tinggal di desa artinya siap kehilangan berbagai macam hiburan seperti mall, cafe-cafe estetik, bioskop, dan lain sebagainya. Kebutuhan tersier akan sulit terpenuhi.
Jika sudah terbiasa menggunakan aplikasi pesan antar, bukan tidak mungkin para orang kota ini terkaget-kaget. Banyak desa yang belum tercakup dalam aplikasi ojek online atau layanan pesan antar lainnya, karena terlalu jauh dari pusat kota.
Selain masalah infrastruktur dan hiburan, tinggal di desa juga artinya harus siap srawung atau bersosialisasi. Banyak sekali acara-acara rutin yang diadakan di desa yang mengharuskan kita bertemu dengan banyak orang. Hal ini jelas akan menjadi culture shock bagi orang yang sejak lahir sudah hidup di kota besar.
Oleh karena itu, saya heran jika ada orang kota yang bercita-cita untuk hidup di desa, bahkan sampai mengglorifikasinya. Cita-citanya memang tidak salah, tapi yakin bakal betah?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Mengenal ANBK: Penjelasan, Fungsi, dan Jadwal Pelaksanaannya Selama 2024
-
Cara Cek Jumlah Pelamar CPNS 2024, Instansi Mana yang Banyak Peminat?
-
Bergenre Thriller, Intip Pemeran Utama Drama Korea 'Such a Close Traitor'
-
Usung Genre Misteri, Intip 5 Pemeran Utama Drama Korea Bertajuk Pigpen
-
Sinopsis 'Love on a Single Log Bridge', Drama Korea Terbaru Joo Ji Hoon
Artikel Terkait
-
Gerak Cepat Pemprov DKI Tangani Aduan Warga Jakarta
-
Menuju Ibu Kota Nusantara yang Berkelanjutan: Inovasi dan Tantangan Dalam Pembangunan Smart City
-
Diberikan di Era Anies, PKS Maklum B2W Cabut Penghargaan Jakarta Kota Ramah Sepeda saat Heru Memimpin
-
Meski Berpolusi, Jakarta jadi Kota yang Wajib Dikunjungi Nomer 7 di Dunia Versi Media Asing
-
Bertemu Jokowi, Perangkat Desa Minta Naik Gaji
Kolom
-
Tepuk Sakinah Viral, Tapi Sudahkah Kita Paham Maknanya?
-
Saat Medsos Jadi Cermin Kepribadian: Siapa Paling Rentan Stres Digital?
-
Pekerja Gaji Under 10 Juta Bebas Pajak, Netizen: Antara Bahagia dan Curiga
-
Saat Karangan Bunga Bicara: Untaian Doa dan Apresiasi Publik untuk Purbaya
-
Rantai Pasok Makanan Sekolah: Celah Besar Program MBG
Terkini
-
Years Gone By: Ketika Cinta Tumbuh dari Kepura-puraan
-
Tak Hanya Lolos, Indonesia Bisa Panen Poin Besar Jika Menang di Ronde Empat
-
Minimalis Tapi On Point! 4 Daily OOTD Classy ala Moon Ga Young
-
Bukan Cuma Drakor, 4 Drama China Tema Time Travel Ini Wajib Masuk Watchlist
-
Kabar Buruk dari Jakarta! Udara Pagi Ini Resmi Masuk Peringkat 5 Terburuk di Dunia