Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Mohammad Maulana Iqbal
Agora (IMDb)

Filsuf perempuan pertama yang menentang pola pikir antriposentris itu bernama Hypatia. Ya, mulai dari era Aristoteles, hingga Romawi akhir, dari masyarakat sipil hingga penguasa kerajaan, disibukkan dengan pemahaman bahwa manusia, atau bumi itu adalah pusat dari segala kehidupan. Termasuk segala objek alam semesta mengitari bumi.

Namun, oleh Hypatia dengan para muridnya berusaha mengkaji ulang pemahaman itu, dengan berbagai perdebatan dan kajian yang mendalam tanpa harus terbang ke luar angkasa, ia menemukan sebuah kesimpulan bahwa ternyata bukan bumi yang menjadi pusat dari tata surya. Melainkan Matahari-lah yang dikelilingi oleh berbagai planet, termasuk bumi.

BACA JUGA: Buku 'Dahsyatnya Kekuatan Pikiran Bawah Sadar', Mensyukuri Anugerah Akal

Kisah Hypatia (yang diperankan oleh Rachel Weisz) ini diangkat dalam sebuah film yang buat oleh Alejandro Amenabar dengan judul “Agora”. Sengaja memang tidak menggunakan judul Hypatia selaku aktor utama, melainkan menggunakan nama Agora. Pasalnya, Agora sendiri merupakan sebuah tempat berkumpul, tempat forum, tempat keramaian masyarakat Romawi.

Ya, film kolosal produksi Spanyol yang mengangkat era Romawi ini, berlangsung pada abad ke empat, ketika kerajaan Romawi sudah berada di ujung kehancurannya. Sedangkan Hypatia sendiri adalah salah satu filsuf, astronom, ahli matematika yang hidup di sana, di Alexandria, Mesir.

Film yang rilis pada pada Oktober 2009 ini sebenarnya secara substantif mengisahkan bagaimana pertarungan antara filsafat dan ortodoksi agama. Khususnya terkait dengan astronomi. Jadi, kala itu ortodoksi agama percaya sebagaimana yang dipercayai Aristoteles dan Claudius Ptolomeus bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta, pemahaman antroposen. Jadi, matahari dan segala planet yang ada di luar angkasa itu mengelilingi bumi selaku pusat tata surya. Namun, oleh Hypatia (yang diperankan oleh Rachel Weisz) bersama murid-muridnya berusaha mengkoreksi kepercayaan itu dan menemukan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta.

Sebuah penemuan yang sangat menakjubkan kala itu, pasalnya hingga hari ini pengetahuan tentang astronomi itu masih digunakan dan dipelajari oleh siswa-siswa kita di sekolah. Meskipun apa yang ditemukan oleh Hypatia menjadi sesuatu yang dianggap menentang ortodoksi agama, menentang otoritas kekuasaan.

Namun sayangnya, di akhir hidup Hypatia berlangsung begitu tragis. Karena kecerdasannya, karena temuannya yang briliant, Hypatia dihukum mati dengan cara yang tragis. Di akhir film yang merogoh saku US$ 70 juta untuk biaya produksnya itu, memperlihatkan bagimana Hypatia dihukum secara keji, di sebuah Gereja, oleh para algojo, pimpinan agama, dan kekuasaan kala itu. Pakaian Hypatia dilucuti secara total didepan banyak pria, kemudian tubuhnya dipecut hingga kematian menjemputnya.

BACA JUGA: Keterampilan Mengelola Keuangan dalam Buku 'Mengelola Uang Saku'

Meskipun film yang diproduksi di ini memiliki sebauh sisipan kisah percintaan misalnya bagaimana Hypatia diperebutkan oleh kedua muridnya, Orestes dan Davus. Namun, orientasinya percintaan itu masih tak jauh-jauh terkait dengan keberlangsungan Hypatia menemukan ide astronominya. Satu muridnya berada di kekuasaan yang melindungi Hypatia, satu muridnya lagi karena menjadi seorang budaknya hanya bisa menyumbang ide kepada Hypatia.

Ketika kita melihat film Agora ini, terbesit di kepala saya sebuah proposisi yang perlu diperhatikan dalam otoritariasme kekuasaan romawi. Hypatia tidak hanya dieksekusi karena gagasannya tentang astronomi, melainkan ia dieksekusi karena ia adalah minoritas yakni mereka yang mengapdikan hidupnya pada pengetahuan bersamaan dengan runtuhnya perpustakaan Alexandria. Sebagai informasi saja, di era itu, minoritas selain filsuf juga terdapat kaum pagan, dan Yahudi yang juga dieksekusi oleh otoritas.

Tidak hanya berhenti disitu saja, Hypatia tidak hanya dieksekusi karena dia filsuf dan karena gagasannya, melainkan juga ia dieksekusi karena ia adalah perempuan. Di era itu, perempuan masih ditempatkan pada urusan dapur, pelayan kerajaan, bahkan pemuas nafsu belaka. Patriarki masih menjadi sesuatu yang diimani kala itu, dan Hypatia dianggap menentang itu semua. Walhasil ketika ia dieksekusi, ia tidak dieksekusi sebagaimana pria di era itu yang hanya dipecut, tapi Hypatia juga dilucuti pakaiannya sekaligus dipecut merobek kulitnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Mohammad Maulana Iqbal