
Gelombang demonstrasi kembali melanda Indonesia beberapa waktu lalu, kali ini untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Massa yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga aktivis, menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Tuntutan yang mereka bawa bukan sekadar reaksi spontan, melainkan wujud dari kekecewaan yang mendalam terhadap jalannya demokrasi di negeri ini. Dalam konteks inilah unggahan akun X @itbfess tentang burung Garuda Pancasila yang kurus kering, tinggal tulang, dan ditambah dengan pertanyaan tajam mengenai nilai-nilai dasar bangsa, menjadi sangat relevan.
Unggahan ini bukan sekadar kritik biasa; ia adalah refleksi dari krisis yang tengah melanda Indonesia. Pertanyaan seperti "Di mana ketuhanan?" hingga "Di mana keadilan?" mencerminkan keputusasaan publik terhadap realitas yang mereka hadapi.
Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila, seharusnya menjadi landasan moral dan etika dalam menjalankan kehidupan berbangsa. Namun, dalam praktiknya, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masih merajalela, seakan nilai ketuhanan telah terkikis dalam budaya politik kita.
Pertanyaan mengenai kemanusiaan dan persatuan juga layak diangkat. Indonesia dibangun atas semangat persatuan dalam keberagaman, sebuah ideologi yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Namun, semakin sering kita melihat narasi yang membelah masyarakat berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi.
Berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil semakin memperlihatkan betapa lemahnya implementasi dari sila kedua dan ketiga Pancasila. Apakah kita benar-benar menghargai kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah persatuan Indonesia masih menjadi tujuan bersama atau sekadar slogan kosong?
Tanda Pancasila Sekarat?
Tidak berhenti di situ, pertanyaan tentang demokrasi dan keadilan menjadi pukulan keras bagi realitas kita saat ini. Banyak yang merasa bahwa demokrasi kita telah mengalami kemunduran signifikan, ditandai dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan meningkatnya intimidasi terhadap aktivis serta jurnalis.
Ini adalah tanda bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari harapan. Ketidakadilan hukum, ketimpangan ekonomi, dan ketidakmerataan akses pendidikan hanya sebagian dari masalah yang membuktikan hilangnya nilai-nilai keadilan dalam praktik.
Menggali lebih dalam, unggahan @itbfess dengan gambar Garuda Pancasila yang tinggal tulang itu seolah menyiratkan bahwa ideologi bangsa ini sedang sakit parah. Pancasila yang seharusnya menjadi roh bangsa justru terlihat lemah, tergerus oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Kondisi ini mencerminkan krisis multidimensional yang tengah dihadapi bangsa: krisis moral, krisis kepercayaan, dan krisis identitas. Inilah saatnya kita merenung, apakah bangsa ini masih setia pada prinsip-prinsip yang telah menjadi dasar berdirinya?
Demo dan unggahan viral tersebut bukan hanya kritik terhadap putusan MK, tetapi juga panggilan untuk kembali ke nilai-nilai dasar kita sebagai bangsa. Sudah saatnya kita melihat kembali ke dalam diri kita dan bertanya, apakah kita masih memiliki Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa? Atau apakah kita telah terlalu jauh tersesat oleh godaan kekuasaan dan kepentingan sesaat?
Kritik yang tajam terhadap putusan MK dan kondisi bangsa saat ini seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Kita harus berani mengakui bahwa mungkin, dalam banyak hal, kita telah gagal menegakkan nilai-nilai yang selama ini kita agung-agungkan. Tidak ada salahnya mempertanyakan di mana ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan kita, selama pertanyaan itu membawa kita pada tindakan nyata untuk memperbaiki keadaan. Sebab, Pancasila bukan hanya lambang di dinding, tetapi harus menjadi denyut nadi dalam setiap kebijakan dan tindakan kita.
Baca Juga
-
Belanja Cerdas dengan Cashback! Cara Belanja Hemat di Era Digital
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
-
Nilai Nomor Sekian! Yang Penting Tetap Waras dan Tugas Kelar, Setuju?
-
Transformasi Pola Komunikasi Keluarga dari Telepon Rumah ke Chat dan Video Call
-
Detak di Pergelangan! Bagaimana Smartwatch Merawat Jiwa Kita?
Artikel Terkait
-
Acha Septriasa Terang-terangan Tandai Akun Jokowi: Kalau Mati Hanya Tinggal Nama
-
Sedih Dengan Kondisi Indonesia Sampai Ingin Jadi WNA? Psikolog Sebut Itu Tanda Gangguan Mental
-
Raffi Ahmad Jadi Bulan-bulanan Baru Nyatakan Dukung Putusan MK: Udah Telat Lur
-
Praz Teguh Bersyukur DPR Batal Sahkan Revisi UU Pilkada: People Power-nya Keren
Kolom
-
Slogan Sustainability Menjadi Kedok untuk Fashion Tak Bertanggung Jawab
-
BPJS Kesehatan Pangkas 21 Layanan: Efisiensi Anggaran atau Eliminasi Hak Rakyat?
-
Belajar Hidup dari Anak Kos, Tamat 1000 Pelajaran Hidup di Kota Orang
-
RJ untuk Penghinaan Presiden: Solusi Cerdas atau Bungkam Berkedok Damai?
-
Polisi Jadi Pahlawan Buruh? Kontroversi Penghargaan ITUC untuk Kapolri
Terkini
-
Final Piala Presiden 2025: Oxford United Lebih Meyakinkan Ketimbang Port FC, Calon Juara?
-
Tomi Adeyemi Suarakan Rasisme Terhadap Kulit Hitam dalam Novel Children of Blood and Bone
-
Ulasan Novel As Good As Dead: Ketika Keadilan Harus Dibayar dengan Darah
-
Sprint Race MotoGP Jerman 2025, Marc Marquez Pembalap Next Level
-
Ditagih Janji Liga Putri, Erick Thohir Umumkan Rencana Turnamen Pra Musim