Saya selalu ingat bagaimana dulu saya terpesona oleh karya-karya klasik seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Namun, ketika era digital merajalela, banyak yang mempertanyakan, “Mengapa kita masih harus membaca karya-karya klasik? Apakah mereka masih relevan?”
Pertanyaan ini sering saya dengar dari rekan-rekan saya yang lebih memilih membaca konten ringan dari media sosial ketimbang membenamkan diri dalam novel setebal ratusan halaman.
Di sinilah masalahnya: kita hidup di zaman serba cepat yang lebih memilih ringkasan daripada pemahaman mendalam. Lalu, masihkah sastra klasik punya tempat di hati pembaca modern?
Pertama, kita perlu melihat dari segi, mengapa sastra klasik masih penting? Jawabannya sederhana: sastra klasik mengandung nilai-nilai universal yang terus hidup dan relevan meski zaman berubah. Tema tentang cinta, perjuangan, keadilan, dan kemanusiaan tetap dapat menyentuh emosi pembaca lintas generasi.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menyampaikan nilai-nilai tersebut kepada generasi yang lebih akrab dengan TikTok dan Instagram? Sastra klasik menuntut kesabaran, analisis, dan waktu yang tidak sedikit, tiga hal yang semakin jarang dimiliki oleh pembaca modern.
Karya sastra klasik tidak terbatas pada kelompok elit tertentu. Bahkan mereka yang tumbuh di era digital pun bisa menemukan relevansi jika diberi kesempatan untuk memahami.
Ini bukan hanya tentang "memaksa" pembaca muda membaca buku tebal, tetapi lebih kepada bagaimana kita, sebagai generasi yang tumbuh dengan sastra klasik, menyampaikan relevansinya kepada mereka.
Ketika disajikan dengan konteks yang tepat, bahkan generasi milenial atau Gen Z bisa merasakan kekuatan dari karya seperti The Great Gatsby yang mengupas ambisi dan kehampaan dalam perburuan impian.
Namun, pertanyaan terbesar adalah di mana kita harus meletakkan karya-karya klasik di dunia yang terus bergerak ini? Apakah harus tetap di ruang kelas sebagai kurikulum wajib? Atau kita perlu mengadaptasi metode baru untuk mengenalkannya?
Di sini saya mengingat kata-kata Harold Bloom dalam bukunya The Western Canon: "Sastra klasik adalah dialog tanpa akhir antara manusia dan dirinya sendiri." Jadi, kata 'di mana' bukan sekadar soal tempat fisik, tapi juga ruang batin di mana kita terus berdialog dengan teks-teks abadi ini. Kelas formal atau tidak, ruang tersebut harus terus ada.
Lantas, bagaimana kita bisa memastikan bahwa sastra klasik tidak ditinggalkan? Kuncinya adalah relevansi. Karya-karya ini harus terus dikaitkan dengan konteks modern. Bila kita gagal melakukan ini, sastra klasik akan terkubur di bawah hiruk-pikuk dunia digital.
Kita harus menjadi jembatan, membawa warisan ini agar tetap hidup dan relevan. Sesungguhnya, sastra klasik tidak akan pernah kehilangan kekuatannya, tetapi kita yang perlu bekerja keras agar kekuatan itu terus dirasakan oleh generasi setelah kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Menari di Atas Tali Ekonomi Rumahan: Kisah Kreativitas dan Ketangguhan
-
Dari Uang Saku ke Anggaran! Gimana Perjalanan Kemandirian Finansial Gen Z?
-
Jurusan Impian vs Pasar Kerja: Pergulatan Hati di Kampus
-
Belajar di Balik Layar: 'Study with Me' sebagai Oase Produktivitas Gen Z
-
Bisikan Kegelapan! Mengapa Gen Z Terpikat Podcast Horor seperti Morbid?
Artikel Terkait
-
Marxisme di Mata Gen Z: Semakin Dilarang, Kian Menantang
-
Pinjol Makin Diminati, Generasi Milenial & Z Rentan Terjebak Utang
-
Jebakan Manis Magang, Modus Baru TPPO Incar Gen Z di Medsos: 2 Hal Ini Penting Dimiliki
-
Sodorkan Aplikasi Reksadana, Insight Investments Incar Investor Muda
-
Peringatan Darurat: Perjuangan Merdeka dalam Segala Aspek di Era Gen Z
Kolom
-
Grup 'Fantasi Sedarah', Alarm Bahaya Penyimpangan Seksual di Dunia Digital
-
Memperkuat Fondasi Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
-
Perjuangan Buruh Perempuan di Tengah Ruang Kerja Tak Setara
-
Fenomena Unpopular Opinion: Ajang Ujaran Kebencian di Balik Akun Anonim
Terkini
-
Venezia Terpeleset, Jay Idzes dan Kolega Harus Padukan Kekuatan, Doa dan Keajaiban
-
Ponsel Honor 400 Bakal Rilis Akhir Mei 2025, Usung Kamera 200 MP dan Teknologi AI
-
Gua Batu Hapu, Wisata Anti-Mainstream di Tapin
-
Jadi Kiper Tertua di Timnas, Emil Audero Masih Bisa Jadi Amunisi Jangka Panjang Indonesia
-
Realme Neo 7 Turbo Siap Meluncur Bulan Ini, Tampilan Lebih Fresh dan Bawa Chipset Dimensity 9400e