Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi menulis surat untuk presiden (Pexels/Vika Glitter)

Kepada Yang Terhormat Bapak Presiden,

Sebelumnya, izinkan saya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada Bapak Jokowi. Terima kasih sudah memimpin negeri ini selama satu dekade terakhir, Pak.

Jalan tol sudah terhubung ke mana-mana, dari desa sampai ibu kota, bahkan mungkin suatu hari nanti kita bisa langsung ngebut ke luar negeri lewat jalan tol. Tapi sayang, Pak, ada satu hal yang tetap stuck di tempat, bahkan terperosok semakin dalam: kualitas pendidikan moral generasi kita.

Terlepas dari pembangunan infrastruktur fisik yang membanggakan, ada infrastruktur lain yang terbengkalai, yaitu moral generasi muda kita.

Gen Z dan Gen Alpha, yang lahir bersama layar smartphone dan tumbuh dengan internet di genggaman, sudah punya pola pikir yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka canggih, kritis, bahkan kalau disuruh debat sama politisi bisa jadi menang.

Tapi sayangnya, adab mereka kepada guru sering kali terlupakan. Sekarang, kalau siswa ditegur karena tidak mengerjakan tugas, jawabannya bisa bikin guru auto-cek darah tinggi.

Generasi Canggih, Adab Kempes: Ketika Teknologi Mengalahkan Budi Pekerti

Tidak diragukan lagi, Gen Z dan Gen Alpha memang lahir dengan DNA digital. Mereka belajar coding sebelum bisa menulis, dan lebih paham algoritma YouTube ketimbang sejarah perjuangan bangsa.

Namun, yang menyedihkan adalah bagaimana teknologi yang mereka kuasai tak sebanding dengan nilai moral yang mereka tunjukkan. Seolah-olah moral itu hanyalah fitur tambahan yang bisa di-update kalau sudah terlanjur error. Seperti video berikut yang tengah viral beberapa saat lalu, siswanya lagi error, adab nol!

Tolong jangan dicontoh ya, adik-adik. Video di atas itu adalah contoh nggak benar. 

Profesi Guru: Dari Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Menjadi Pekerja Tanpa Jeda

Pak Jokowi, di bawah kepemimpinan Bapak, gaji guru memang ada kenaikan, tapi kalau dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab yang sekarang makin absurd, rasanya masih jauh dari kata cukup.

Guru bukan lagi sekadar mengajar, tapi juga jadi operator administrasi, pelatih mental, sampai harus menguasai teknik persuasi layaknya influencer.

Ironisnya, di tengah beban yang semakin berat ini, banyak siswa yang memperlakukan guru seperti aplikasi gratis: gampang dikritik, tapi manfaatnya dianggap biasa saja.

Ketika generasi muda lebih percaya video TikTok edukatif daripada wejangan seorang guru, ada yang salah di sini. Entah siswa yang terlalu terpengaruh konten viral, atau kita yang gagal menanamkan bahwa guru bukan sekadar penyampai informasi, tapi pengawal moral.

Guru zaman sekarang mungkin harus mengambil kursus stand-up comedy supaya tahu bagaimana cara menanggapi argumen siswa dengan humor, karena percayalah, jadi terlalu serius bisa bikin stres.

Sistem Pendidikan: Antara Laporan yang Terlalu Rapi dan Moral yang Terabaikan

Administrasi pendidikan kita, Pak, sudah seperti sinetron tak berkesudahan. Ada saja yang harus diurus, mulai dari laporan bulanan, penilaian kinerja, hingga kebijakan kurikulum yang bisa bikin guru ngedumel sendiri.

Semua ini membuat guru lebih sibuk mengisi kolom-kolom Excel ketimbang menanamkan nilai kehidupan yang esensial. Apakah kita sedang mencetak generasi yang tahu semua tentang teori fisika kuantum tapi gagal dalam menghormati orang tua?

Bapak sering bicara soal pembangunan karakter bangsa, tapi kenyataannya yang dibangun justru sistem birokrasi yang makin menggurita.

Jika moral dan adab hanya dinilai dari seberapa cepat guru mengumpulkan laporan atau seberapa lengkapnya dokumen yang diunggah di aplikasi, maka jangan heran kalau yang kita hasilkan adalah generasi ahli administrasi tanpa etika. Ini adalah PR besar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah anggaran atau membuat aplikasi baru.

Prabowo dan Pendidikan Moral: Tantangan Berat atau Sekadar Formalitas?

Pak Prabowo, jika kelak Bapak sudah menjabat sebagai presiden, tolong berikan perhatian lebih terhadap pendidikan moral. Kita butuh sesuatu yang lebih konkret daripada sekadar perubahan kurikulum yang hanya menyentuh permukaan.

Generasi yang kita hadapi ini adalah generasi yang bisa menonton dua video dan membantah tiga teori hanya dalam satu tarikan napas. Mereka kritis, cepat, tapi sering kali kehilangan makna dari apa yang mereka pertanyakan.

Harapan kami, kebijakan pendidikan tidak hanya difokuskan pada pencapaian akademik semata, tapi juga benar-benar berupaya membangun "infrastruktur" moral dan adab yang kokoh. Tidak cukup dengan menaikkan gaji guru tanpa mengurangi beban administratif yang bisa menggerogoti jiwa.

Berikan ruang bagi para guru untuk mendidik dengan hati, bukan sekadar memenuhi target administratif yang nyaris tak ada habisnya. Karena jika moral siswa hanya jadi nomor kesekian dalam daftar prioritas, maka kita sedang menciptakan generasi yang lebih lihai mencari celah aturan daripada memahami makna hormat.

Bapak Jokowi dan Pak Prabowo, mari kita perbaiki negeri ini dengan membangun karakter generasi yang lebih dari sekadar hafalan dan nilai. Kalau jalan tol bisa mulus tanpa hambatan, seharusnya moral generasi muda kita juga bisa lurus tanpa banyak liku, kan, Pak?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah