Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi menulis surat (Pexels/MART PRODUCTION )

Pak Jokowi yang saya hormati, sepuluh tahun kepemimpinan Bapak sudah memberikan banyak perubahan yang signifikan bagi bangsa ini. Infrastruktur kita berkembang pesat, jalan tol makin banyak, dan pembangunan di berbagai pelosok negeri makin terasa. Bapak bahkan berhasil menarik investor asing untuk membantu pembangunan dalam negeri, terutama dari China. Salut, Pak! Nggak ada yang meragukan bahwa Bapak adalah presiden yang gesit dan punya keberanian besar untuk mengambil langkah besar.

Namun, di balik semua prestasi yang Bapak capai, ada sedikit kegalauan yang menghantui hati anak-anak muda seperti saya. Ketergantungan ekonomi kita terhadap China semakin meningkat dalam dekade ini, mulai dari investasi hingga utang luar negeri yang terus membengkak. Saya khawatir, Pak, kalau ini terus berlanjut, kita bisa seperti anak yang selalu minta uang saku lebih ke orang tua, sampai-sampai lupa belajar mandiri. Nggak ada yang salah sih dengan menjalin kerja sama, tapi kalau terlalu bergantung, apa nggak bahaya, Pak?

Infrastruktur: Ketika Jalan Tol Jadi 'Made in China'?

Saya nggak bisa menampik, jalan tol di era Bapak beneran mempermudah mobilitas. Tapi, pertanyaannya adalah: di balik beton-beton itu, ada berapa persen material atau tenaga kerja yang 'imported from China'? Banyak proyek besar kita dibiayai atau bahkan dibangun oleh perusahaan China, dan tentu saja ada investasi modal di sana. Dengan porsi keterlibatan yang besar, kita mulai bertanya-tanya, seberapa jauh kedaulatan kita tergadaikan?

Bukannya nggak boleh mengundang investor, Pak, cuma kalau semua duitnya dari China, kesannya kita jadi klien tetap yang nggak bisa lepas dari supplier utama. Apa nggak takut, Pak, kalau suatu saat, mereka 'ngutangin' tapi syaratnya adalah kita harus nurut ke kebijakan ekonomi mereka? Ini seperti kita makan mi instan terus, karena murah dan mudah, tapi kalau bumbunya habis, mau ngutang ke siapa lagi?

Maka dari itu, apabila Bapak Prabowo sudah menjadi pemimpin Indonesia, mungkin kita bisa lebih kreatif, Pak. Misalnya, kenapa nggak coba dorong investasi dari negara lain atau bahkan dari investor dalam negeri? Biar ketergantungannya nggak satu arah, Pak, kayak kisah cinta yang nggak pernah dibalas.

Utang Luar Negeri: Semakin Besar, Semakin Gentar?

Utang adalah hal wajar dalam pembangunan negara, dan itu sudah jadi bagian dari strategi ekonomi kita. Tapi, kalau lihat dari data, pinjaman dari China makin besar porsinya dibanding dari sumber lain. Saya bukannya paranoid, Pak, cuma belajar dari sejarah negara lain yang kolaps karena utang—apa kita nggak takut, kalau pinjaman terus bertambah tanpa perhitungan matang? Jangan-jangan nanti kita harus bayar dengan konsesi tambang atau pelabuhan! Wah, bahaya pol itu!

Utang ini kayak cicilan kartu kredit, Pak. Kalau bunganya terus naik dan tagihannya makin besar, yang ada bukannya menikmati fasilitas, tapi malah tercekik. Maka dari itu, Bapak Prabowo nanti harus lebih teliti, jangan sampai terlena sama janji-janji manis investasi luar negeri yang ujung-ujungnya menjerumuskan kita ke lubang yang lebih dalam. Bayangin, Pak, kalau sampai ada syarat politik yang menyertai pinjaman itu, apa kita siap nurut aja?

Harus diakui, selama ini pemerintah Bapak tetap bisa mengelola utang dengan baik, tapi semakin besar porsi dari China, semakin besar juga risikonya. Kita butuh strategi yang lebih beragam, yang nggak hanya bergantung ke satu pihak saja, biar kita bisa lebih fleksibel kalau suatu saat keadaan ekonomi global berubah drastis.

Investasi China: Haruskah Kita Pasrah atau Harus Berani Menolak?

Investasi China sering datang dengan paket lengkap: modal, tenaga kerja, bahkan teknologi. Tapi, Pak, masalahnya adalah apakah kita hanya jadi 'penonton' yang membiarkan perusahaan China mengambil alih semua pengerjaan tanpa memberikan banyak kesempatan bagi tenaga kerja lokal? Jangan sampai kita terlihat seperti negara yang hanya menyediakan lahan sementara keuntungan dibawa kabur ke negeri tirai bambu.

Sebagai negara yang ingin berdaulat, kita perlu mengatur kebijakan investasi asing dengan lebih bijak. Misalnya, mewajibkan transfer teknologi atau persyaratan penggunaan tenaga kerja lokal yang lebih ketat. Kalau perlu, kita juga bisa lebih selektif dalam memilih proyek yang ditawarkan oleh investor asing. Ingat, Pak, kita ini tuan rumah, bukan tamu yang hanya numpang tinggal di negeri sendiri.

Ke depannya, kebijakan diplomasi ekonomi Indonesia harus bisa menegosiasikan syarat-syarat yang lebih menguntungkan bagi kita. Harus lebih jeli agar investasi itu nggak jadi seperti membeli kucing dalam karung. Kalau Bapak Prabowo nanti jadi presiden, moga-moga beliau lebih galak sedikit ya, Pak, dalam urusan negosiasi dengan asing.

Apakah Kebijakan Bebas Aktif Masih Bebas atau Sudah Aktif Tergadai?

Sejak zaman Pak Hatta, Indonesia dikenal dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, artinya kita bisa berdiplomasi dengan siapa saja, tanpa harus condong ke salah satu blok kekuatan dunia. Namun, sekarang ini, kita seperti terlalu mesra sama China. Ya, saya mengerti, kepentingan ekonomi memaksa kita untuk lebih 'ramah,' tapi jangan sampai kebijakan bebas aktif itu berubah jadi 'bebas aktif tergadai' hanya demi segelintir proyek.

Dalam urusan kebijakan luar negeri, harus ada keseimbangan yang bisa mempertahankan prinsip kita. Kalau kita terlanjur mesra dengan satu negara, kita bakal kehilangan daya tawar dengan yang lain. Apa nggak lebih baik kalau Indonesia bisa memainkan peran sebagai penengah yang benar-benar netral dan independen?

Pak Jokowi, saya sungguh menghargai semua usaha Bapak selama sepuluh tahun ini. Tapi harapan saya ke depan, kalau Prabowo jadi presiden, kebijakan luar negeri Indonesia bisa lebih kuat, lebih bebas, dan tidak mudah diintervensi oleh negara manapun, termasuk China. Karena di akhir hari, kita ingin Indonesia yang berdaulat, bukan yang bergantung kepada negara lain seperti benalu.

Demikian surat ini saya sampaikan, Pak Jokowi. Harapannya, Bapak dapat memberikan nasihat yang baik kepada penerus Bapak nanti, yaitu Bapak Prabowo, agar Indonesia bisa menjadi negara yang lebih mandiri dalam ekonomi, diplomasi, dan kebijakan luar negeri. Terima kasih atas segala upayanya, dan mari kita sama-sama mendoakan yang terbaik untuk masa depan bangsa ini.

Salam hormat,
Seorang Anak Muda Penuh Harapan

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah