Dalam konteks dinamika politik Indonesia saat ini, peran civil society semakin krusial, terutama di tengah krisis partai oposisi. Ketidakstabilan politik dan lemahnya kekuatan oposisi memaksa civil society untuk mengisi kekosongan dalam pengawasan pemerintah dan mewakili suara rakyat.
Partai-partai oposisi menghadapi berbagai tantangan signifikan. Ketidakmampuan mereka untuk bersatu dan menawarkan alternatif yang jelas bagi pemerintah membuat suara oposisi semakin redup.
Banyak partai lebih memilih berkoalisi dengan pemerintah demi meraih akses kekuasaan, yang berimbas pada lemahnya mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi.
Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, berpendapat bahwa strategi Prabowo Subianto dalam pemerintahan kemungkinan akan mengikuti jejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengandalkan koalisi yang besar dan mengurangi keberadaan oposisi yang kuat.
Dalam diskusi bertajuk "Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi" yang diadakan di Jakarta, ia menyatakan, "Dengan koalisi yang sangat besar dan lemahnya oposisi, proses check and balances yang efektif tidak akan terjadi."
Athiqah menekankan hal ini melihat upaya Prabowo yang aktif membangun koalisi, tidak hanya dengan partai pendukungnya, tetapi juga dengan partai lain seperti Nasdem dan PKB, yang telah menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Prabowo.
Ia memperingatkan bahwa koalisi yang terlalu besar berisiko menurunkan kualitas demokrasi dan mengancam masa depan demokrasi di Indonesia.
Dari perspektif sejarah, keberadaan civil society tak terpisahkan dari ide demokrasi. Fenomena ini dapat ditelusuri sejak karya klasik Aristoteles, Politics. Pemikiran tentang peran civil society dalam mendukung demokrasi terus menjadi perdebatan yang relevan.
Dengan berkembangnya demokrasi elektoral liberal, individu dan civil society kini memiliki lebih banyak ruang untuk berpartisipasi dan mengawasi jalannya demokrasi.
Civil society sebagai bagian integral dari demokrasi memberikan kontribusi yang signifikan. Kebebasan yang dinikmati civil society pasca-rezim Orde Baru, yang sebelumnya mengekang hak sipil, menjadi salah satu pendorong utama demokrasi di era reformasi.
Dalam sistem demokrasi, oposisi merupakan elemen penting. Kehadirannya sebagai pihak yang berbeda pandangan dengan pemerintah merupakan manifestasi dari hak berdemokrasi. Oposisi diharapkan dapat menjaga kesehatan demokrasi.
Namun, pragmatisme dalam pencarian kekuasaan terkadang menggoda partai oposisi untuk berkoalisi. Oposisi yang sehat tidak selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah, tetapi lebih berfokus pada isu-isu yang memicu debat publik.
Melihat konfigurasi parlemen dalam sistem pemerintahan presidensial, meskipun presiden memiliki kewenangan lebih, dukungan mayoritas di parlemen tetap krusial. Kita juga perlu melihat bagaimana civil society mengawasi wakil-wakilnya di parlemen.
Dalam konteks ini, civil society memiliki peran penting dalam kontrol publik. Dalam masyarakat modern yang menerapkan prinsip demokrasi, kelayakan individu untuk berpartisipasi dalam politik ditentukan melalui pemilihan umum.
Representasi menjadi kriteria dasar dalam memilih elit politik, sementara lembaga politik, seperti legislatif dan partai politik, berfungsi sebagai tempat pelatihan elit politik.
Politik dijalankan oleh berbagai kelompok yang memanfaatkan agen, juru bicara, atau simbol kepercayaan. Kelompok-kelompok ini dapat muncul dalam bentuk geografi, profesi, etnis, agama, atau lingkaran elit partai.
Jejaring civil society diharapkan dapat mendorong reformasi kelembagaan di parlemen. Kekuatan civil society dapat menjadi representasi mayoritas masyarakat, karena institusi ini dianggap membela kepentingan rakyat secara tulus.
Meskipun aspirasi civil society belum sepenuhnya terakomodasi dalam kebijakan, upaya penggalangan opini dan desakan kepada pemangku kebijakan dapat mengubah sikap dan pendekatan pemerintah serta DPR.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Menelusuri Jaringan Pasar Gelap Satwa Liar dan Lengahnya Negara
-
Antara Rantai dan Tawa: Potret Luka di Balik Topeng Monyet yang Tak Merdeka
-
Kemenangan Akademisi IPB, Napas Baru Perlindungan Pembela Lingkungan
Artikel Terkait
-
Tanpa Tedeng Aling-aling, Prabowo Perintahkan Menteri: Pangkas Acara Seremonial dan Kunjungan Luar Negeri Tak Penting!
-
Bukan Ospek Militer! Prabowo Gembleng Menteri Baru di Magelang, Ada Apa?
-
Kumpul Keluarga di Istana Negara, Prabowo Jamu Keluarga Besar Djojohadikusumo
-
Mahfud MD: Ada Maksud Tersembunyi di Balik Menteri Pilihan Prabowo
-
Bukan untuk Campuri Pekerjaan Kementerian, Ternyata Ini Alasan Prabowo Bentuk Badan-badan Baru
Kolom
-
Kamu Mau Menyerah? Coba Lihat Lagi, Bukankah Kamu Sudah Sejauh Ini?
-
Adu Jurus Purbaya VS Luhut: Polemik Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung
-
Satu Tahun Prabowo-Gibran, Apa Kabar Pendidikan Kita?
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
Terkini
-
Setelah Dievakuasi, Ancaman Belum Usai: Risiko Kesehatan Kontaminasi Cs-137
-
40 Hari Bolos Sekolah, Ferry Irwandi Tersentuh oleh Kesabaran Sang Guru!
-
Bingung Cara 'Styling' Biar Gak Gitu-gitu Aja? Ini 9 Aturan Main Buat Pemula
-
Sunscreen saat Hujan, Pentingkah? Jangan Sampai Salah Langkah!
-
Raisa & Hamish Daud Umumkan Perpisahan, Fans Teringat Lirik 'Usai di Sini'