Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Anik Sajawi
Kota Jember di malam hari yang terus membangun megaproyek besar meski minim esensial. (Unsplash/Jerry Hartono)

Satu tahun lebih setelah proyek revitalisasi Alun-Alun Kota Jember berlangsung dan sempat mendapat sorotan diawal pengerjaan karena besarnya anggaran. Sepertinya tidak lengkap jika tidak mengabarkan progres pembangunan proyek ambisius pemangku kebijakan di Kota Seribu Gumuk itu.

Sebab hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Jember semakin gencar menyelesaikan revitalisasi Alun-Alun Kota, sebuah proyek yang telah dicanangkan dan mulai dibangun selama satu tahun terakhir.

Jika kalian ingat,  di tulisan saya sebelumnya banyak masyarakat Jember yang menyayangkan alokasi dana sebesar Rp 7,3 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023 untuk pembangunan mega proyek  revitalisasi Alun-Alun itu.

Padahal urgensi dari proyek itu sangat dipertanyakan publik, terutama terkait esensi pembuatan videotron raksasa yang diklaim sebagai yang pertama di Indonesia karena ukurannya yang di luar nurul.

Hamat saya, cara yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Jember untuk bersolek dengan melakukan revitalisasi Alun-Alun Kota Jember layaknya hal yang nir empati. Apalagi jika melihat kondisi di Jember yang sebenarnya membutuhkan atensi serius dari pemerintah untuk kesejahteraan warganya.

Saya akan membahasnya satu per satu mengenai kondisi di Jember yang butuh penanganan esensial dari pada hanya berfokus pada mega proyek besar.

Tingginya Ketimpangan Sosial dan Ekonomi di Jember 

Saya merasakan sendiri dalam beberapa tahun terakhir, Jember mengalami lonjakan angka kriminalitas yang signifikan, mulai dari pencurian, begal, hingga kekerasan.

Beberapa kolega saya bahkan menjadi korban saat sepeda motornya di parkir di kos-kosan. Tentu saja salah satu penyebab yang menjadi sorotan tingginya angka kriminalitas yang meningkat itu karena ketimpangan antara penduduk asli dan mahasiswa pendatang.

Ketimpangan sosial di Jember tampak jelas ketika saya membandingkan akses pendidikan antara penduduk asli dan mahasiswa pendatang. Banyak penduduk asli yang terhalang oleh keterbatasan ekonomi dan kurangnya akses terhadap pendidikan tinggi.

Di sisi lain, mahasiswa pendatang, yang umumnya berasal dari keluarga mampu, dapat dengan mudah melanjutkan studi di perguruan tinggi.

Saya kira perbedaan itulah menciptakan kesenjangan yang mencolok, yang dapat menimbulkan ketegangan dan gesekan sosial.

Ketika penduduk asli merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kesempatan yang sama karena persoalan biaya, potensi terjadinya kriminalitas bisa meningkat. Rasa ketidakadilan itu justru menumbuhkan sikap negatif terhadap pendatang, yang dianggap sebagai simbol dari kesuksesan yang tidak dapat mereka capai.  

Pemkab Jember terlalu berfokus pada Kota Sentris

Selain ketimpangan sosial dan ekonomi di Jember, pembangunan di Kabupaten Jember selama ini terfokus pada wilayah pusat kota, khususnya di Kecamatan Patrang, Kaliwates, dan Sumbersari.

Meskipun Jember merupakan kabupaten terluas ketiga di Jawa Timur dengan luas 3.092 km², pola pembangunan yang bersifat kota sentris ini berpotensi menciptakan ketidakmerataan yang signifikan di daerah-daerah lainnya.

Konsentrasi pembangunan di wilayah pusat kota mengakibatkan minimnya perhatian pada daerah pinggiran dan selatan Jember dan wilayah lainnya.

Contohnya, warga Ambulu yang terletak di selatan harus menempuh jarak jauh jika ingin mengakses pusat perbelanjaan modern.

Begitu pula dengan warga Puger yang ingin melihat videotron raksasa, yang merupakan salah satu atraksi baru, harus pergi ke Kecamatan Patrang. Hal itu menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap fasilitas umum dan infrastruktur masih sangat terbatas bagi masyarakat di luar wilayah pusat kota.

Saya melihat ketidakmerataan pembangunan itu tidak hanya berpengaruh pada akses fasilitas, tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat.

Warga di daerah pinggiran sering kali merasakan dampak negatif dari minimnya infrastruktur, seperti jalan yang mengalami kerusakan namun tak kunjung ada perbaikan macam Jalan Raya Sukowono – Sumberjambe membuat masyarakat di luar pusat kota merasa terpinggirkan.

Namun alih-alih Pemerintah Jember mempertimbangkan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dengan pengembangan infrastruktur dan fasilitas publik di daerah pinggiran.

Pemangku kebijakan malah lebih memilih menggelontorkan dana besar untuk revitalisasi alun-alun, yang tanpa diperbaiki pun akan terlihat lebih baik daripada alun-alun di Rambipuji, Kalisat atau Mayang.

Ditambah esensi Pemkab untuk membuat videotron raksasa itu apa, jika sebenarnya banyak hal yang masih butuh untuk diperbaiki.

Itulah pendapat saya mengenai Pemkab Jember yang saat ini masih terus berbenah untuk melakukan perbaikan hal-hal yang nggak pati genah.

Entah apa yang ada di pikiran mereka, apa para pemangku kebijakan tidak pernah berkeliling Jember dan melihat ketimpangan yang ada di wilayah pinggiran. Kalau tidak pernah ya, sungguh terlaluuu.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Anik Sajawi