Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi Guru dan Siswa (Pexels/Agung Pandit Wiguna)

Media sosial telah menjadi panggung bagi suara-suara yang termarjinalkan dan alat yang ampuh untuk mobilisasi massa. Melalui platform digital, individu dapat dengan mudah menyuarakan pendapat, mengorganisir aksi protes, dan menciptakan gerakan sosial yang masif. Hashtag, meme, petisi online, dan berbagai bentuk konten kreatif lainnya menjadi senjata ampuh untuk menyebarkan pesan, membangun kesadaran kolektif, dan menekan pihak-pihak yang berkuasa.

Belakangan banyaknya kasus yang menjerat guru dinilai tidak adil di mata masyarakat. Pasalnya, guru seolah-olah kehilangan kewenangannya mendidik siswa dengan cara tegas karena diancam pelaporan ke ranah hukum oleh wali siswa. 

Padahal, jika kita menelusuri masalahnya, misalnya kasus Pak Zaharman yang sampai buta gara-gara diketapel orang tua siswa yang tidak terima anaknya dimarahi karena merokok, kasus Pak Sambudi yang divonis penjara gara-gara mencubit siswanya yang tidak mau beribadah, dan setumpuk kasus lain yang populer di media sosial ini menyoal moral dan tindakan positif sebagai latar belakangnya.

Banyak netizen yang berkomentar tentang dangkalnya pemikiran orang tua yang melaporkan atau bertindak berlebihan ketika anaknya berusaha dididik dengan cara yang sedikit tegas. Mereka juga banyak membandingkan pola asuh orang tua era sebelumnya yang sungguh-sungguh menggembleng anak-anak mereka walau dengan kekerasan sekalipun agar menimbulkan efek jera dan segan demi karakter kuat yang terbangun dalam diri anak.

"Dikit-dikit lapor polisi. Ngeri orang tua zaman sekarang apalagi yang berduit. Semua bisa dibelinya, termasuk hukum," ujar salah satu pengguna media sosial di Instagram.

Setelah kasus-kasus tersebut muncul ke permukaan, timbul pula tren lain untuk menanggapi berita itu. Fenomena guru enggan menegur siswa karena takut dilaporkan telah menjadi isu hangat yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Dalihnya sederhana: takut melanggar hukum, khususnya terkait UU Perlindungan Anak.

"Percayalah kawan, ini bukan hanya di konten saja, tapi bakal terjadi di dunia nyata. Guru sangat tidak dihargai di negara sebercanda Indonesia ini," komentar salah satu pengguna media sosial. Sungguh pun memang guru memilih untuk tetap di posisi aman ini, akankah generasi kita dapat tetap memegang teguh moral dan kesantunan? Atau justru mereka semakin bebas dan bertindak suka-suka karena merasa ada pembelaan yang tidak tepat sasaran itu?

Perlu kita akui bahwa tindakan tegas guru seringkali disalahartikan sebagai kekerasan. Padahal, disiplin yang tegas bukan berarti kekerasan fisik atau verbal yang merendahkan. Disiplin adalah bagian integral dari proses pendidikan, bertujuan membentuk karakter siswa agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mandiri. Tanpa adanya disiplin, bagaimana kita bisa mengharapkan generasi muda yang berkualitas?

Namun, ketakutan guru akan laporan dan sanksi hukum membuat mereka enggan menjalankan tugasnya. Akibatnya, siswa menjadi kurang terkendali, mengganggu proses belajar mengajar, dan bahkan melakukan tindakan indisipliner yang lebih serius. Ironisnya, alih-alih melindungi siswa, UU Perlindungan Anak justru menjadi semacam pedang bermata dua yang menghambat upaya guru dalam mendidik.

Permasalahan ini membutuhkan solusi komprehensif. Pertama, perlu adanya revisi terhadap UU Perlindungan Anak agar lebih jelas membedakan antara tindakan disiplin yang wajar dengan kekerasan. Kedua, perlu diadakan pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menerapkan disiplin positif. Ketiga, peran orang tua sangat penting dalam mendukung upaya guru dalam mendidik anak.

Kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi guru untuk menjalankan tugasnya tanpa rasa takut. Guru adalah pahlawan berjasa yang berhak mendapatkan dukungan dan perlindungan. Mari kita bersama-sama mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini, demi masa depan pendidikan bangsa.

Christina Natalia Setyawati