Di Indonesia, kita punya istilah 'jam karet'. Tapi, kadang-karetnya terlalu elastis, sampai-sampai jamnya bisa berubah bentuk. Jadi, kalau ada yang bilang acara mulai jam 7, jangan kaget kalau ternyata baru mulai jam 8 atau bahkan lebih. Itu sudah jadi semacam tradisi.
Salah satu alasan mengapa budaya terlambat sulit diubah di Indonesia adalah karena masyarakat kita cenderung memiliki sifat yang santai dan fleksibel. Kita sering kali mengutamakan hubungan sosial dan toleransi daripada ketepatan waktu.
Konsep "jam karet" ini dipandang sebagai bentuk keramahan dan tidak ingin membuat orang lain merasa tertekan. Namun, di sisi lain, sikap yang terlalu santai ini juga dapat menghambat kemajuan dan produktivitas.
Masih ingat dengan 10 budaya malu yang dulu pertama kita kenal di sekolah dasar? Poin-poin yang mendaraskan apa-apa yang menjadi alasan seseorang merasa malu ketika melakukannya dulu terdaftar di sana.
Ada malu datang terlambat, malu melanggar aturan, malu tidak menyelesaikan tugas tepat waktu, malu membuang sampah tidak pada tempatnya, malu berpakaian tidak rapi, malu pulang sebelum waktunya, dan sebagainya.
Biasanya ada sanksi berupa poin atau sanksi sosial bagi pelanggarnya, setidaknya yang dapat menjerakan mereka agar tidak mengulanginya lagi.
Dulu, rasa malu adalah perisai yang membentengi nilai-nilai luhur bangsa. Merasa malu atas kesalahan, merasa malu atas perbuatan yang merugikan orang lain, adalah hal yang lumrah dan menjadi cerminan karakter seseorang.
Namun, seiring bergulirnya waktu, budaya malu yang pernah begitu kokoh ini kini mulai retak dan bahkan hancur berkeping-keping. Dinding-dinding sekolah yang dulu dihiasi semboyan tentang rasa malu kini terlihat pudar, seolah ikut memudarnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Masalahnya, tindakan memalukan itu kini menjadi budaya yang dinormalisasikan masyarakat kita. Rasa-rasanya sudah tidak paten lagi budaya malu mengingat kita sudah biasa melakukan perilaku tidak terpuji bahkan tidak merasa bersalah ketika melakukannya.
Akankah budaya malu ini hanya akan menjadi pajangan di dinding-dinding karena para model yang menjadi contoh sudah benar-benar tidak mencontohkan hal baik yang layak untuk ditiru.
Perubahan zaman yang begitu cepat, disertai dengan derasnya arus informasi dari berbagai penjuru dunia, menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan lunturnya budaya malu.
Media sosial, misalnya, menjadi panggung bagi siapa saja untuk menampilkan diri tanpa filter. Batasan antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah, seolah semakin kabur. Fenomena ini melahirkan generasi yang individualistis, yang lebih mementingkan kepuasan pribadi daripada kepentingan bersama.
Akibatnya, kita sering kali menyaksikan berbagai tindakan yang menghebohkan, yang menunjukkan hilangnya rasa malu. Korupsi, penipuan, dan tindakan kekerasan seolah menjadi hal yang biasa.
Tidak ada lagi rasa bersalah atau penyesalan yang mendalam ketika melakukan kesalahan. Hal yang ada hanyalah upaya untuk menutupi jejak dan mencari keuntungan pribadi.
Lunturnya budaya malu juga berdampak pada tatanan sosial. Hubungan antarmanusia menjadi semakin renggang, kepercayaan antarsesama semakin menipis. Orang lebih mudah saling menyalahkan daripada saling membantu. Kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai menjadi semakin sulit untuk dicapai.
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengembalikan budaya malu? Jawabannya tidaklah sederhana. Ini adalah tugas bersama yang membutuhkan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah.
Namun, di atas semua itu, yang paling penting adalah perubahan dari dalam diri kita sendiri. Kita harus berani untuk introspeksi, untuk mengakui kesalahan, dan untuk memperbaiki diri.
Kita harus menanamkan kembali nilai-nilai luhur dalam diri kita, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan rasa empati. Dengan begitu, kita dapat menjadi contoh bagi orang lain dan ikut serta dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Lunturnya budaya malu adalah sebuah kehilangan yang sangat besar bagi bangsa kita. Namun, kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah keadaan. Mari kita bersama-sama berupaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah lama menjadi warisan bangsa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Beradu dengan Realitas, Magang Unpaid adalah Sisi Terselubung Perbudakan?
-
S Line, Garis Merah Menguak Jejak Seksual: Kok Malah Jadi Tren?
-
Fenomena Kondangan Akademik: Dulu Dukungan, Kini Kayak Arisan Sosial?
-
Belajar Hidup dari Anak Kos, Tamat 1000 Pelajaran Hidup di Kota Orang
-
Aturan Cuma Buat Rakyat? Menggugat Hak Istimewa Rombongan Pejabat di Jalan Raya
Artikel Terkait
-
Kronologis eks Pemain Timnas Indonesia Syakir Sulaiman Ditangkap Polisi Jadi Bandar Narkoba
-
Ultimatum Presiden Prabowo: Jangan Ada Lagi Beking Judol, Korupsi, hingga Narkoba!
-
Vietnam Gelar TC ke Luar Negeri Jelang Piala AFF 2024, Timnas Indonesia Justru Masih Santai
-
ASDP Dinobatkan Sebagai Tempat Kerja Terbaik, Ini Buktinya
-
Penerima LPDP Tak Wajib Balik ke Tanah Air, Mendik Saintek: Kan Pemerintah Hanya Bisa Kasih Beasiswa Bukan Kerjaan
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
Fabio Diggia Tegur Pedro Acosta yang Bicara soal VR46: Hargai Tim-mu!
-
Otot Lelah, Otak Ikut Ngelag? Yuk Intip Penjelasan Ilmiahnya di Futsal
-
Huawei MatePad Pro 12.2: Tablet yang Tipisnya Nampol, Fiturnya Maksimal
-
Anime Zombie Land Saga Bakal Rilis Film, Tayang Perdana Oktober 2025
-
Menguliti Luka dan Obsesi dalam Novel False Idol Karya Shooastrif