Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | hanifati radhia
ilustrasi pernikahan di Indonesia (Pexels/Danu Hidayatur Rahman)

Kalau kamu sering menggulirkan media sosial, terutama Tik Tok, tentu tidak asing dengan salah satu tren “marriage is scary”. Dari sana, bertebaran postingan-postingan berisi pengakuan dan curahan hati betapa “mengerikannya” ikatan pernikahan. Kengerian atau ketakutan itu terjadi manakala pernikahan diwarnai perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pasangan yang tidak bisa memberikan rasa aman dan kenyamanan. Tak hanya tren pernikahan itu menakutkan, tren serupa seperti standar ideal untuk memilih pasangan atau jodoh pun kini bisa dipengaruhi oleh media sosial, seperti Tik Tok.   

Sementara itu, data BPS menunjukkan angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan. Dalam Laporan Statistik Indonesia 2024 misalnya, mencatat angka pernikahan pada 2023 sebanyak 1.577.255. Angka pernikahan pada 2023 ini turun sebanyak 128.093 dibanding tahun sebelumnya, yakni 1.705.348 angka pernikahan pada 2022. Hal itu juga akan berdampak pada penurunan kelahiran di kalangan anak muda.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Masalah kependudukan ini juga menimpa negara-negara maju seperti Jepang, dan Korea. Mungkinkah Indonesia berpotensi meniru Jepang atau Korea? Mari kita telaah lebih dalam dari beberapa faktor berikut ini.

Pertama, mulai adanya perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Mereka tidak lagi berpikiran untuk segera menikah dan memiliki anak. Mengejar atau meraih karir dan pekerjaan yang mapan lebih mereka pertimbangkan. Apalagi, di jaman sekarang, mendapatkan pekerjaan tidak bisa dikatakan sepenuhnya mudah, namun juga bisa dikatakan sulit.

Kedua, saat ini perempuan cenderung lebih mandiri. Hal ini terjadi karena mereka memiliki akses pendidikan yang lebih luas dan kesempatan kerja yang lebih terbuka. Berbekal modal pendidikan dan penghasilan yang bahkan dikatakan cukup atau mapan, ini berdampak pada mulai menurunnya ketergantungan pada laki-laki. Hal itu senada turut disampaikan oleh ahli Sosiologi, Prof. Bagong yang menyebut bahwa kondisi ekonomi laki-laki saat ini pun tidak terlalu ideal. Lapangan pekerjaan untuk laki-laki semakin terbatas, dan persaingan semakin ketat. Pada gilirannya, membuat mereka sulit mendapatkan penghasilan yang sungguh mapan.

Ketiga, pengaruh konten media sosial juga turut andil berperan dalam membentuk pola pikir generasi muda tentang pernikahan. Selayaknya tren ”marriage is scarry”  yang dibahas di awal. Di era media sosial, seseorang bebas mengutarakan isi hati dan pikiran tentang pernikahan. Alih-alih mengutarakan sisi positif, pesan bijak dan nasihat, konten yang ada cenderung mengarah oversharing (berlebihan membagikan informasi). 

Konten-konten media sosial terkadang menunjukkan debat siapa harus memasak dan mencuci piring, siapa yang mengasuh anak, kekerasan verbal, pasangan yang tidak pengertian hingga perceraian. Seolah tak ada lagi sisi privasi seluk-beluk pernikahan, semua hal justru terekspos secara bebas. Dengan demikian publik akan melihat dan menilai, baik mereka yang berada di posisi sama maupun baru akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Unggahan-unggahan itu jika kerap kali muncul pada algoritma media sosial kita secara berulang, tak menampik jika kemudian membentuk persepsi. Perlahan persepsi itu akan melahirkan keraguan tak terelakkan terhadap institusi bernama pernikahan di kalangan generasi muda.

Penutup

Pengaruh media sosial tidak terelakkan turut mempengaruhi persepsi kita. Seperti halnya tren ”marriage is scarry” yang mewarnai jagad dunia media sosial. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa Indonesia mengalami masalah kependudukan yakni penurunan angka pernikahan. Pemerintah dalam hal ini Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN telah melaporkan pada Wakil Presiden RI. Tentu kita menyambut baik terobosan dan program yang akan dirancang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akan tetapi, kita bisa menyikapi soal pernikahan ini dimulai dari diri sendiri. Setidaknya kita bisa menyikapi dengan bijak tren yang ada, termasuk konten media sosial.

Keputusan untuk menikah atau tidak menikah memang menjadi ranah privat seseorang. Namun sebaiknya kita bisa menyaring informasi yang bermanfaat konten-konten media sosial mengenai pernikahan, bahwa ada sisi negatif dan positif, baik-buruk, suka dan duka. Bagaimana suatu permasalahan di dalam pernikahan, kita bisa ambil pelajaran tanpa merasa terbawa arus ”tren” atau perasaan. Jangan sampai kita terperangkap dalam narasi buruk yang merugikan pikiran kita sendiri. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

hanifati radhia